JAKARTA, iNewsSerpong.id – Rencana Pemerintah memperluas insentif harga gas industri sebaiknya perlu mendapat perbaikan dan masukan dari berbagai pihak. Pasalnya kebijakan insentif dinilai kurang tepat sasaran dan berisiko merugikan keuangan Negara dalam jangka panjang.
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menjelaskan, “Bisa dibayangkan kerugian Negara itu cukup besar, pendapatan negara dari hulu migas selama tahun 2020 hanya mencapai US$460 juta. Jumlah itu jauh dibawah proyeksi awal ketika kebijakan harga gas US$6 itu diberlakukan pada bulan Juni 2020 yakni senilai US$ 1,39 miliar. Artinya ada potential loss bagian Negara disaat windfall harga gas sedang tinggi.”
Penyaluran gas dengan harga khusus ke industri menimbulkan beberapa permasalahan seperti formulasi penetapan harga gas maksimal US$6 per mmbtu dan kriteria penerima yang dianggap kurang transparan.
Bhima Yudhistira menambahkan Penyaluran insentif harga gas khusus harusnya sama halnya dengan penyaluran subsidi gas pada umumnya. Perlunya kejelasan soal formulasi harga, kriteria penerima dan mekanisme pengawasan merupakan hal yang melekat dalam kebijakan gas khusus. Tetapi dalam prakteknya masalah transparansi dan evaluasinya sangat minim sehingga kurang tepat apabila insentif gas langsung diperluas ke sektor usaha lainnya.
Skema penetapan harga gas khusus menjadi US$6 per mmbtu pun menimbulkan banyak pertanyaan. Formulasi penurunan harga gas ke titik tertentu idealnya bukan sekedar membandingkan bahwa Negara lain khususnya di Asean memiliki harga gas yang lebih murah.
Selama periode tahun 2010-2019, natural gas rent Indonesia hanya 2 kali menembus angka 1% dan masih lebih rendah dari rata-rata historis Thailand dan Malaysia.
Perkembangan kebijakan harga gas untuk industri juga perlu dipertimbangkan kembali karena harga gas di pasar internasional mengalami kenaikan cukup signifikan dalam 1 tahun terakhir.
Windfall (durian runtuh) kenaikan harga gas karena naiknya permintaan secara global berisiko tidak optimal dirasakan oleh Pemerintah maupun BUMN dibidang migas karena selisih harga jual gas yang terlalu rendah dibanding harga gas yang seharusnya berlaku di pasar.
Setelah satu setengah tahun implementasi kebijakan penurunan harga gas, serapan konsumsi gas oleh industri dirasa belum optimal. Terdapat beberapa industri yang dianggap kurang dapat memanfaatkan insentif tersebut dengan baik. Efektivitas dari harga gas khusus industri dinilai masih rendah.
“Beberapa industri yang diberikan subsidi harga gas khusus tidak memiliki kinerja yang cukup positif. Kapasitas industri relatif rendah, bahkan tidak mampu bersaing dengan produk impor meski telah diberikan preferensi harga gas khusus. Oleh karena itu wacana perluasan penerima subsidi gas untuk industri dinilai sangat premature.
Editor : A.R Bacho
Artikel Terkait