BANDUNG, iNewsSerpong.id - Di masyarakat, terutama antara etnis Sunda dan Jawa ada mitos larangan menikah. Dari mana mitos ini berawal?
Sebelum membahas lebih jauh tentang mitos itu, tidak ada salahnya kita mengetahui hubungan etnis Sunda dan Jawa di masa lampau. Etnis Sunda dan Jawa mendiami Pulau Jawa selama ribuan tahun.
Tome Pires, penjelajah asal Portugis mencatat, hubungan antara orang Sunda dengan Jawa pada abad 15 Masehi rukun dan damai. Mereka memang tidak berkawan akrab, tetapi juga tidak bermusuhan.
Di laut, kedua suku bersaing dalam mencari ikan, tetapi tidak saling menyerang. Mereka berdagang dan berjual beli seperti biasa. Orang Sunda dan Jawa mengurusi kehidupan masing-masing.
Catatan Tome Pires ini menunjukkan pertentangan antara Sunda dan Jawa hingga sekitar 1511 tidak pernah ada. Bahkan mereka hidup rukun walaupun bersaing dalam memajukan kehidupan masing-masing.
Catatan Tome Pires sama dengan temuan fakta Bhujangga Manik, pendeta dari Sunda yang berziarah ke Jawa menuturkan kisah serupa. Dalam ziarah ke Majapahit, Bhujangga Manik tidak mencatat ada peristiwa Perang Bubat.
Dia banyak mengunjungi tempat-tempat suci di Jawa dan diterima dengan baik oleh orang Jawa kala itu. Ini menggambarkan tidak ada permusuhan antara Sunda dan Jawa. Kedatangan pendeta Sunda ke Jawa untuk ziarah menunjukkan Sunda sangat menghormati Jawa.
Perang BubatLantas apa yang menyebabkan "permusuhan" itu terjadi dan muncul stereotip negatif tentang masing-masing etnis? Berdasarkan analisis pakar sejarah dan sosiologi, akar masalah "permusuhan" Jawa dan Sunda adalah cerita tentang Perang Bubat yang termuat dalam Kidung Sundayana dan Pararaton pada masa kolonial Belanda.
Tujuan utama propaganda Perang Bubat adalah memecah belah kerukunan dua etnis Sunda dan Jawa. Sebab, dua etnis terbesar di Pulau Jawa itu merupakan potensi ancaman sangat berbahaya bagi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda kala itu.
Diketahui, Kidung Sundayana yang ditulis pujangga Bali menceritakan, konon terjadi peristiwa berdarah Perang Bubat antara pasukan Kerajaan Sunda dengan Majapahit di alun-alun Bubat, kawasan utara Trowulan, ibu kota Majapahit, pada 1279 Saka atau 1357 Masehi.
Konon dalam peristiwa berdarah itu, seluruh prajurit dan Raja Linggabuana dari Kerajaan Sunda tumpas, termasuk sang putri jelita, Dyah Pitaloka Citraresmi yang semula hendak dinikahkan dengan Raja Hayamwuruk.
Kolonial Belanda berhasil mempropagandakan cerita itu hingga muncul mitos dan stereotip atau sentimen negatif di kedua etnis. Mitos dan stereotip yang kerap terdengar adalah, lelaki Jawa tidak boleh menikah perempuan Sunda yang umumnya berparas cantik.
Distereotipkan pula, perempuan Sunda yang cantik cenderung pemalas, lebih suka menghabiskan waktu berdandan daripada mengurus rumah tangga, tidak setia, tidak bisa diajak hidup susah, dan lain-lain.
Sebaliknya, di kalangan etnis Sunda karena dipengaruhi oleh cerita Perang Bubat, muncul dendam dan memandang Jawa sebagai orang-orang yang keji. Karenanya, orang Sunda melarang anak-anak mereka, terutama gadis, menikah dengan pria Jawa.
Bahkan hingga beratus tahun lamanya, tidak ada nama jalan Gajah Mada, Majapahit, dan Hayam Wuruk di Kota Bandung dan semua daerah di Jawa Barat. Begitu pun sebaliknya, tidak ada nama Jalan Pajajaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Namun, sejak Ridwan Kamil menjabat Gubernur Jabar pada 2018, di Kota Bandung terdapat Jalan Majapahit dan Hayam Wuruk di dekat Gedung Sate. Tidak ada reaksi negatif sedikit pun dari warga Kota Bandung terhadap penamaan jalan itu.
Selanjutnya, Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo melakukan rekonsiliasi budaya dengan saling menggelar pementasan seni Sunda dan Jawa di Kota Bandung dan Solo, Jawa Tengah. Rekonsiliasi budaya juga disepakati dengan Pemprov Jawa Timur.
Mitos Orang Jawa Menikah dengan Sunda
Mitos menyebutkan orang Sunda dan Jawa menikah, rumah tangganya tidak bahagia. Konon mitos perkawinan tak bahagia itu terutama lelaki Jawa menikah dengan perempuan Sunda.
Sebaliknya, orang tua Sunda zaman dulu pun melarang anak gadisnya menikah dengan lelaki Jawa. Begitupun, orang Jawa melarang anak laki-lakinya menikah dengan perempuan Sunda.
Lantas bagaimana hubungan kedua etnis tersebut saat ini? Berdasarkan pengamatan di masyarakat di Kota dan Kabupaten Bandung, banyak pria Jawa yang menikah dengan perempuan Sunda. Bahkan tak sedikit juga lelaki Sunda yang menikah dengan perempuan Jawa.
Kehidupan rumah tangga mereka pun tampak rukun, seperti keluarga umumnya. Bahkan banyak keluarga Jawa-Sunda sukses mendidik anak-anak mereka.
Keluarga campuran antara etnis Sunda dan Jawa telah lama berlangsung di daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Misalnya di Cilacap, Kota Banjar, Ciamis, dan Pangandaran atau Brebes-Cirebon.
Banyak pria Jawa yang menikah dengan perempuan Sunda asal Kota Banjar, Ciamis, dan Pangandaran. Mereka hidup rukun dan damai.
Bahkan karena banyak pernikahan campuran kedua etnis, masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan itu disebut sebagai orang Jasun atau Jawa Sunda.
Akulturasi budaya antara suku Sunda dan Jawa di wilayah perbatasan inilah secara langsung menggugurkan mitos yang selama ini beredar.(*)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait