JAKARTA,iNewsSerpong.id - Nilai utang luar negeri (ULN) pemerintah tercatat sebesar USD423,1 miliar tumbuh 3,7 persen di triwulan III 2021. Untuk itu pemerintah wajib mewaspadai default risk yang akan terjadi.
Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai kenaikan utang luar negeri perlu diwaspadai karena pertumbuhan utang pemerintah dianggap terlalu tinggi jauh melampaui growth dari uang swasta. Meski hal itu digunakan untuk mendanai sejumlah proyek pembangunan.
"Kalau utang pemerintah diperiode yang sama naiknya 4,1% sementara swasta cuma 0,2% di kuartal III 2021maka ini pertanda pemerintah terlalu agresif mendanai pembangunan dengan utang," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia di Jakarta, Rabu(17/11/2021).
Sementara itu di kuartal III pertumbuhan ekonomi hanya 3,51% yoy. Ada diskonektivitas antara pertumbuhan utang sektor publik dengan riil ekonomi. Ini menunjukkan peningkatan utang kurang berkualitas.
"Kalau utangnya produktif dan benar benar dibelanjakan untuk keperluan industrialisasi, konektivitas antar wilayah, penurunan biaya logistik maka bisa tercermin ke ekonomi," ungkap Bhima.
Selain itu klaim bahwa utang aman karena tenornya jangka panjang menurutdia tidak berkaca pada krisis utang di negara negara lain dimana utang jangka panjang bukan jaminan risiko defaultnya rendah.
"Kalau utang jangka panjang bertambah tapi kemampuan bayar nya rendah default risk tetap besar. Itu kenapa pada saat tekanan eksternal naik, credit default swap utang Indonesia ikut naik ke level 90,3 bulan Oktober, jauh lebih tinggi dibanding 61,4 per Februari 2020," tambahnya.
Persepsi investor masih menganggap Indonesia memiliki risiko tinggi dibandingkan peers sehingga meminta imbal hasil yang tinggi. Surat utang pemerintah Indonesia tercatat memiliki imbal hasil sebesar 6,05% dengan inflasi 1,66%. artinya real rate of return dari investor mencapai 4,39%.
"Filipina saja memiliki CDS hanya 5,7 dengan tingkat imbal hasil 5,17% dan inflasi sebesar 4,8%. Real rate of return atau keuntungan riil surat utang pemerintah Filipina hanya 0,37%. Filipina kalah menarik karena pemerintahnya tidak seagresif Indonesia dalam berutang," pungkas Bhima. (*)
Editor : Syahrir Rasyid