Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
SUATU hari saya menerima kisah inspiratif yang dikirim oleh seorang teman melalui aplikasi pesan instan di sebuah media sosial. Kisahnya sangat menarik dan langsung saya baca hingga tuntas.
Kisah inspiratif tersebut mengangkat cerita tentang seekor kadal yang sangat dahaga di tengah panasnya gurun pasir. Al kisah, di tengah kedahagaannya tersebut, si kadal melihat ada sebuah kaleng yang berisi air.
Awalnya si kadal berpikir dan membayangkan jika dia meminum sedikit air yang menetes dari kaleng, maka akan hilanglah dahaganya. Si kadal pun akhirnya bergerak mendekati botol tersebut, dan kemudian diminumnya setetes demi setetes air yang ada pada kaleng tersebut.
Lama kelamaan, si kadal merasakan tubuhnya semakin segar dengan meminum air tersebut. Berubahlah pikiran si kadal. Perubahan pikiran tersebut didasari oleh rasa kurang puas dan ingin merasakan lebih dari sekedar tetesan air yang dia minum.
Akhirnya si kadal nekat memasukkan kepalanya ke dalam botol minuman.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Si kadal awalnya berpikir bahwa sisa air yang ada di dalam botol akan menghilangkan dahaganya. Bahkan si kadal juga berpikir bahwa sisa air tersebut akan mampu menyelamatkan hidupnya di tengah padang pasir.
Si kadal pun memutuskan untuk meminum seluruh air yang tersisa di dalam botol. Akibatnya, tubuh si kadal menjadi kembung dan kekenyangan, sehingga dia tidak dapat keluar lagi dari dalam botol.
Karena kelalaiannya itu, akhirnya si kadal pun mati terjerat di tengah kubangan botol air sisa tersebut. Harapan air sisa di dalam botol dapat menyelamatkan hidupnya, yang terjadi justru sebaliknya.
Demikianlah perumpamaan hidup manusia di muka bumi ini. Karena keserakahan dan keinginan untuk hidup bermegah-megah, menyebabkan manusia lupa dan lalai akan tujuan hidup di muka bumi ini.
Allah SWT berfirman dalam surat At-Takatsur (102): 1-8 yang artinya:
“Bermegah-megahan telah melalaikanmu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui.”
“Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti, niscaya kamu akan benar-benar melihat neraka Jahim, kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri, kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).”
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : Dok Pribadi)
Sering kali kita hanya fokus memikirkan bagaimana caranya agar bisa bekerja keras, banting tulang siang dan malam karena ingin hidup kita enak. Namun kita sering lupa bahkan tidak memperhatikan bagaimana caranya agar kelak kita mati dengan cara yang enak alias husnul khotimah.
Saat ini, kita begitu bersemangat untuk mengejar kesenangan hidup di dunia. Tak peduli siang atau malam, bahkan terkadang bagi sebagian orang tak peduli lagi dengan halal dan haram. Na’udzubillah.
Ketika bicara mengenai kehidupan setelah kematian di negeri akhirat, kita cenderung malas bahkan tak peduli. Oleh karenanya, kita sering kali lalai terhadap tabungan untuk persiapan kita saat ajal datang menjemput serta kehidupan yang abadi di akhirat kelak.
Padahal, jika kita perhatikan dan analisa lebih lanjut, perumpamaan manusia dengan kenikmatan hidup di dunia ini, laksana seekor semut dengan setetes madu.
Semut yang hanya mencicipi manisnya madu, maka dia akan selamat. Tetapi, bagi semut yang memilih menceburkan diri ke dalam tetesan madu tersebut, maka dia akan binasa.
Inilah yang disebut keserakahan. Berawal dari kenikmatan karena mendapatkan sesuatu sesuai kebutuhan namun tidak disyukuri, kemudian timbul syahwat untuk menikmati dan memiliki lebih banyak. Akhirnya timbul sifat serakah dalam diri seseorang.
Keserakahanlah yang menyebabkan seseorang menjadi berlaku curang, tak menghiraukan lagi halal dan haram. Keserakahanlah yang membuat seseorang lupa diri, lupa dari mana dia berasal, untuk apa dia hadir di muka bumi, dan akan kemana dia kembali.
Keserakahan pula yang menyebabkan dia semakin tidak mampu bersyukur atas nikmat yang Allah SWT berikan. Yang ada di dalam hati dan pikirannya hanyalah kurang dan kurang, tak pernah cukup dengan yang didapatkan.
Sifat dan sikap serakah ini akan terus menguasai seseorang, selama dia tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya hingga perutnya diisi oleh tanah alias mati. Hal ini ditegaskan oleh Baginda Rasulullah SAW di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang artinya:
“Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain tanah. Dan Allah Maha Penerima taubat siapa saja yang mau bertaubat.”
Untuk itu, berhati-hatilah dengan syahwat kekayaan dan kekuasaan. Karena jika kita serakah dengan kekayaan dan kekuasaan, bisa jadi itu adalah awal dari kebinasaan.
Betapa banyak orang yang serakah dengan harta akhirnya menjadi seorang koruptor. Seseorang yang biasa dipanggil dengan panggilan yang mulia, tiba-tiba menjadi hina karena terbukti melakukan korupsi.
Bagi anda para penguasa, jalankanlah amanah kekuasaan yang dititipkan oleh rakyat sesuai dengan kaidah yang ada. Jangan karena ingin melanggengkan kekuasaan, kemudian melakukan konspirasi dan permufakatan jahat untuk mengelabui rakyat.
Ingat, keserakahan adalah awal kebinasaan. Oleh karenanya, Baginda Rasulullah SAW sering berdo’a: “Yaa Allah, berikan aku sikap qana’ah (merasa cukup) terhadap apa yang Engkau rezekikan kepadaku, berkahilah pemberian itu, dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik.” (HR. Hakim).
Mudah-mudahan, seiring dengan berkurangnya usia, berkurang pula syahwat kita terhadap dunia. Seiring dengan berkurangnya daya tahan tubuh kita, berkurang pula sifat dan sikap serakah kita.
Jadilah manusia yang qana’ah, yang mampu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan sekecil apapun nikmat itu. Karena bagi orang yang mampu bersyukur dengan nikmat yang kecil, maka dia akan lebih bersyukur dengan nikmat yang besar.
Sebaliknya, bagi orang yang tidak bisa bersyukur dengan nikmat yang kecil, maka dengan nikmat yang besar pun kemungkinan dia tidak akan bisa untuk mensyukurinya. Di sinilah awal mula keserakahan itu datang.
Tutuplah pintu untuk keserakahan masuk ke dalam hati kita dengan bersyukur. Dengan bersyukur, maka Allah tetap akan menambahkan keberkahan melalui rizki yang diberikan-Nya kepada kita.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku (Allah) akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat’.” (QS. Ibrahim: 7). (*)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid