JAKARTA, iNewsSerpong.id - Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi ancaman bagi masyarakat dunia. Apalagi DBD yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue, berpotensi menjangkit seseorang lebih dari sekali, dan infeksi berikutnya berisiko lebih parah.
Prof Sri Rezeki Hadinegoro, Ketua Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), mengatakan, dengue atau yang sering disebut sebagai DBD merupakan penyakit yang dapat menjangkit siapa saja tanpa memandang usia, di mana mereka tinggal, maupun gaya hidup.
“Di negara atau wilayah dengan tingkat penularan DBD yang tinggi, anak-anak dan orang dewasa muda cenderung menjadi yang paling terkena dampaknya, dengan angka kematian lebih tinggi pada anak-anak," kata Prof Sri Rezeki dalam acara Indonesia Dengue Summit yang digelar Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta (IDAI JAYA) dan PT Takeda Innovative Medicines di Jakarta, baru-baru ini.
Menurut Prof Sri, sayangnya, di masyarakat masih banyak terjadi miskonsepsi tentang DBD dan menganggap penyakit ini tidak berbahaya. Masih banyak orang yang berpikir apabila sudah pernah terkena DBD, maka mereka aman dan menjadi kebal.
"Padahal, tidak begitu. Masyarakat perlu memahami virus dengue terdiri dari empat serotipe. Di mana apabila seseorang telah terjangkit satu serotipe, mereka masih bisa terjangkit serotipe yang lain, dan infeksi yang kedua dan seterusnya berpotensi lebih parah. Bahkan bisa menyebabkan kematian," katanya.
Lebih lanjut Prof Sri menjelaskan, untuk itu, tindakan pencegahan yang terintegrasi sangat diperlukan untuk melawan DBD, seperti melalui pengendalian vektor. Selain itu, juga perlu mencegah infeksi dan melakukan upaya untuk mengurangi keparahan penyakit apabila sampai terjangkit.
Dia menjelaskan, salah satu inovasi yang saat ini direkomendasikan oleh beberapa organisasi profesi di Indonesia, baik oleh IDAI, PAPDI, maupun PERDOKI adalah melalui program vaksinasi. Dalam tatalaksana DBD yang diterbitkan UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI tahun 2023 juga disebutkan pasien setelah terinfeksi dan rawat inap akibat dengue dapat diberikan vaksinasi 1-3 bulan kemudian.
"Dengan meningkatkan kekebalan masyarakat, akan sangat membantu menurunkan tingkat keparahan serta risiko kematian akibat DBD. Baru-baru ini WHO juga telah mengeluarkan rekomendasi untuk mengenalkan inovasi vaksinasi dengue bagi negara atau wilayah dengan intensitas penyebaran DBD yang tinggi
ke dalam program imunisasi nasional," kata Prof Sri.
Perlu diketahui, di Indonesia, Kementerian Kesehatan mencatat hingga minggu ke-23 tahun 2024, terdapat 131.501 kasus DBD dengan kematian sebanyak 799 kasus. Angka kasus kejadian tersebut lebih tinggi dari kumulatif kasus DBD di tahun 2023 yaitu 114.720 kasus, dan mendekati total kasus kematian sepanjang tahun 2023 yaitu 894 kasus.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Direktorat Jenderal P2P,
Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan, sampai saat ini, pencegahan dan pengendalian DBD di Indonesia berfokus lebih berat pada pengendalian vektor yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
"Sejak 1980-an, kita telah menjalankan Gerakan 3M Plus secara berkelanjutan, dilanjutkan dengan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J), dan baru-baru ini, kami memperkenalkan teknologi nyamuk ber-Wolbachia sebagai bagian tambahan dari program yang ada," kata dokter Imran.
Meskipun semua upaya ini telah dilakukan, lanjut dr Imran, kasus demam berdarah di Indonesia masih menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dia yakin pendekatan inovatif lainnya diperlukan untuk mengatasi tantangan ini. Karena itulah, Kementerian Kesehatan terus menguatkan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, dan berkomitmen menerapkan pendekatan-pendekatan inovatif, termasuk melalui vaksinasi.
Sementara itu, Prof Rismala Dewi, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta menuturkan, dia menyadari pentingnya pencegahan DBD yang terintegrasi dan komprehensif. Oleh karena itu, organisasi profesi, termasuk salah satunya adalah IDAI, merekomendasikan imunisasi DBD kepada anak-anak usia 6- 18 tahun.
"Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan perlindungan optimal kepada anak-anak, yang merupakan kelompok paling rentan terhadap infeksi dengue, tetapi juga untuk secara signifikan mengurangi risiko kematian akibat penyakit ini," kata Prof Rismala.
Andreas Gutknecht, Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines, mengungkapkan kerja sama ini merupakan yang pertama di Indonesia. Dia berharap acara ini dapat menjadi wadah untuk peningkatan kapasitas yang berkelanjutan bagi para profesional kesehatan di Indonesia dalam penanganan DBD, serta memberikan informasi tepercaya seputar DBD kepada masyarakat.
"Kami berkomitmen untuk memerangi DBD melalui pendekatan yang menyeluruh yang melengkapi upaya pemerintah untuk mencapai tujuan Nol Kematian Akibat Dengue pada tahun 2030. Sejalan dengan komitmen tersebut, kami berupaya menciptakan akses terhadap vaksin inovatif kami, bagi masyarakat luas melalui kerja sama dengan tenaga kesehatan serta institusi terkait," katanya.
Dia menjelaskan, tujuan kemitraan publik-swasta ini untuk meningkatkan kekuatan dan sumber daya guna mencegah dan mengendalikan DBD secara efektif. Dia juga membantu membuka jalan menuju program imunisasi nasional di masa yang akan datang. "Selain itu, kami mendukung edukasi pada tenaga kesehatan sebagai garda terdepan dalam hal pencegahan, deteksi, dan penanganan DBD. Salah satunya adalah melalui Indonesia Dengue Summit ini," katanya.
(*)
Editor : Syahrir Rasyid