Utang Negara adalah Utang Kita
OPINI: Oleh Syahrir Rasyid, Pimpinan Redaksi iNewsSerpong
SUARA Presiden Prabowo Subianto menggelegar di Stasiun Tanah Abang Baru, Jakarta, pada Selasa (4/11/2025). Polemik soal utang proyek kereta cepat Whoosh seketika mereda.
Sebagai kepala negara, Prabowo menegaskan siap menanggung penuh pembiayaan proyek Whoosh. “Saya tanggung jawab semuanya. Indonesia bukan negara sembarangan,” tegasnya.
Prabowo meminta masyarakat tidak perlu khawatir dengan besarnya utang proyek kereta cepat Jakarta–Bandung yang kini sudah beroperasi. Ia mengaku telah mempelajari secara menyeluruh persoalan tersebut dan memastikan Indonesia mampu menanganinya.
Sumber pembiayaan utang itu, kata Prabowo, berasal dari pajak dan kekayaan negara. Karena itu, ia menuntut agar tidak ada lagi kebocoran dan praktik korupsi.
“Uang rakyat nggak boleh dicuri. Uang itu akan kita kembalikan untuk pelayanan rakyat,” tegasn
Presiden juga mengingatkan agar isu utang Whoosh tidak dijadikan bahan politik yang menimbulkan kecemasan publik. “Indonesia sanggup. Jangan dipolitisasi. Jangan kita menari di gendangnya orang lain,” ujarnya.
Ketegasan Presiden Prabowo patut diapresiasi. Namun, pertanyaan publik belum sepenuhnya terjawab: bagaimana dengan dugaan korupsi dan pembengkakan biaya (cost overrun) yang sedang diusut oleh KPK?
Sebagai catatan, proyek kereta cepat Jakarta–Bandung menelan biaya sekitar US$ 7,2 miliar atau setara Rp 116 triliun.
Beban bunga tahunannya diperkirakan mencapai US$ 120,9 juta — sekitar Rp 1,7 hingga 2 triliun per tahun, belum termasuk cicilan pokok.
Angka itu jelas tidak kecil. Tak heran jika muncul kekhawatiran publik soal bagaimana utang sebesar itu akan dibayar. Terlebih, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya menyatakan APBN tidak akan menanggung utang jumbo tersebut.
Dalam ajaran Islam, utang tidak dilarang — baik secara pribadi maupun dalam konteks negara. Namun syaratnya jelas: harus digunakan untuk kemaslahatan umat, bukan demi kemewahan atau kepentingan sesaat.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 282:
“Wahai orang-orang yang beriman. Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.....”
Ayat ini menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam berutang.
Jika urusan utang pribadi saja harus dicatat dan jujur, apalagi utang negara — yang menyangkut nasib jutaan rakyat — tentu harus dikelola dengan lebih amanah dan bertanggung jawab.
Utang boleh, tapi jangan jadi ketergantungan. Rasulullah SAW sendiri berdoa agar dilindungi dari lilitan utang, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan dari utang.” (HR Bukhari)
Pesan ini sederhana tapi dalam -- utang boleh tapi jangan sampai menjadi ketergantungan. Sebab ketika suatu bangsa terlalu bergantung pada utang luar negeri, kemandirian ekonomi bisa tergadaikan.
Tujuan berutang yang semula untuk pembangunan, bisa berubah menjadi beban dan belenggu ekonomi bila tidak dikelola dengan jujur dan efisien.
Pada akhirnya, utang negara adalah utang kita semua. Bukan sekadar angka di laporan keuangan, melainkan beban moral dan spiritual yang harus dipikul oleh seluruh bangsa.
Selama dikelola dengan amanah dan transparan, utang bisa menjadi alat untuk kemajuan. Namun bila disalahgunakan, utang akan berubah menjadi beban lintas generasi. Ingat, utang negara adalah utang rakyat. (*)

Editor : Syahrir Rasyid