HIKMAH JUMAT : Manajemen Amarah
Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
SETIAP manusia memiliki rasa marah. Marah merupakan suatu bentuk emosi yang ada pada diri manusia. Namun demikian, wujud rasa marah dapat berbeda-beda pada setiap manusia.
Marah dapat juga diartikan sebagai bentuk perubahan emosi seseorang untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman yang bergemuruh di dalam hatinya. Kemarahan biasanya dipicu oleh ketidakmampuan mengendalikan tindakan orang lain atau situasi lingkungan lainnya.
Perasaan marah tentunya sangat manusiawi. Terutama jika ada orang lain yang berbuat salah atau jahat kepada kita. Namun, Islam mengajarkan kepada kita untuk tidak melampiaskan kemarahan.
Oleh karenanya, rasa marah ini sebaiknya ditahan karena dapat merugikan diri sendiri dan juga orang lain. Lebih jauh dari itu, amarah yang tak terkendali dapat saja berujung dengan penyesalan yang tiada akhir.
Abu Hurairah RA menceritakan bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW: “Berilah aku nasihat.” Beliau menjawab: “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaanya berulang-ulang, kemudian Nabi SAW bersabda: “Engkau jangan marah!” (HR. Bukhari).
Ketika hati seseorang dipenuhi oleh amarah, maka bisa saja Syaitan memanfaatkan dan menjerumuskan orang tersebut ke dalam perbuatan dosa dan jurang kenistaan. Hal ini diingatkan oleh Nabi SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: “Marah itu dari Syaitan.”
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib sedang ada di dalam sebuah peperangan. Pada saat itu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib memiliki kesempatan untuk memenggal leher musuhnya yang sudah terjatuh.
Namun pada saat yang sama, musuhnya tersebut meludahi Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan ludahnya tepat mengenai pipi Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Karena tindakan dari musuhnya ini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun batal memenggal leher musuhnya.
Lalu si musuh ini bertanya: “Wahai Ali, kenapa engkau tidak jadi memenggal leherku?”
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun menjawab:
“Ketika aku menjatuhkanmu, aku ingin membunuhmu karena Allah. Akan tetapi, ketika engkau meludahiku, maka aku khawatir niatku untuk membunuhmu bukan karena Allah, tapi karena kemarahanku kepadamu akibat ulahmu yang telah meludahiku.”
Seketika itu pula, musuhnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang hendak dipenggal lehernya tadi langsung menyatakan keislamannya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Dalam kisah di atas, Sayyidina Ali bin Abi Thalib telah mampu menerapkan manajemen amarah walaupun dalam kondisi yang sulit sekalipun. Sungguh sebuah kisah yang penuh tauladan bagi ummat Islam.
Allah SWT memerintahkan agar kita menolak keburukan dengan cara yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Tolaklah (keburukan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34 – 35).
Salah satu dampak buruk dari kemarahan adalah timbulnya kebencian dalam hati kepada seseorang. Akibat dari kebencian ini adalah dapat menghilangkan rasa adil dari seseorang kepada orang yang dibencinya.
Allah SWT mengingatkan hal ini dalam Al-Qur’an yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu golongan mendorongmu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8).
Hanya orang kuatlah yang mampu menahan beratnya amarah. Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Orang kuat itu bukanlah orang yang pandai berkelahi, tetapi orang kuat itu ialah orang yang dapat menahan amarahnya ketika sedang marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Allah SWT menyebut orang yang senantiasa mampu menahan amarahnya sebagai orang yang memiliki karakter orang bertaqwa. Dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 134, Allah SWT berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik dalam keadaan lapang maupun sempit, serta orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Menahan marah merupakan akhlak terpuji yang diperintah dan dicontohkan oleh Nabi SAW. Balasan bagi orang yang mampu menahan amarah disampaikan oleh Nabi SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Nabi SAW bersabda:
“Siapa saja yang menahan marah, padahal dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di atas kepala para makhluk hingga dipilihkan baginya bidadari yang dia sukai.”
Bagi orang yang mampu menahan amarahnya, maka Allah akan memberikan surga kepadanya. Hal ini ditegaskan oleh Nabi SAW dalam sabdanya: “Jangan marah, maka bagimu surga.” (HR. Ath-Thabrani).
Islam adalah agama yang sempurna. Oleh karenanya Islam tidak hanya memerintahkan ummatnya untuk menahan amarah. Lebih jauh dari itu, Islam melalui Nabi SAW mengajarkan metode untuk menahan amarah.
Berwudhu untuk meredakan amarah. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya marah itu dari Syaitan dan sesungguhnya Syaitan itu diciptakan dari api, sementara api bisa dipadamkan oleh air. Karena itu, jika salah seorang di antara kalian sedang marah, hendaknya dia berwudhu.” (HR. Abu Dawud).
Mengubah posisi tubuh juga dapat meredakan amarah. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud juga, Nabi SAW bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian sedang marah dalam keadaan berdiri, hendaklah dia duduk. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun jika tidak lenyap juga, maka berbaringlah.”
Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nabi SAW juga bersabda: “Jika kamu marah, hendaknya diam.”
Dalam kehidupan yang penuh dengan tantangan ini, ummat Islam wajib mengaktualisasikan manajemen amarah yang diajarkan oleh Nabi SAW. Sebagaimana Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang telah sukses mengaktualisasikannya.
Amarah terkendali, hidup pun menjadi berkah. Surga dan bidadari disiapkan jadi hadiah. (*)
Wallahu a’lam bish-shawab.

Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : Dok Pribadi)
Editor : Syahrir Rasyid