JAKARTA,iNewsSerpong.id – Keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga 75 basis poin (bps). Hal ini kemudian direspons bursa saham Wall Street dan Asia langsung melemah. Namun, sentimen tersebut tidak mampu menahan laju kenaikan tiga saham non-big cap (berkapitalisasi pasar mini).
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), pukul 09.31 WIB, saham emiten produsen motor dan sepeda listrik PT Gaya Abadi Sempurna Tbk (SLIS) melejit 17,78% ke Rp426/saham dengan nilai transaksi Rp194,5 miliar dan volume 473,4 juta saham (tertinggi ketiga).
Praktis, pagi ini, saham SLIS menjadi saham dengan kenaikan tertinggi di bursa (apabila memperhitungkan volume perdagangan).
Saham SLIS cenderung diborong investor sejak awal September lalu. Ini membuat saham SLIS melesat 68,50% sepekan dan meroket 177,92% dalam sebulan belakangan.
Hanya saja, yang perlu dicatat, saham SLIS sebenarnya masih belum bisa mematahkan tren penurunan setelah menembus Rp1.405/saham pada Februari 2022.
Di bawah SLIS, saham emiten produsen gas PT Surya Biru Murni Acetylene Tbk (SBMA) naik 14,55% ke angka Rp252/saham. Saham ini diperdagangkan dengan nilai transaksi Rp11,08 miliar dan volume 45,84 juta saham.
Ini sekaligus melanjutkan kenaikan pada Kamis kemarin (21/9) yang sebesar 8,91%.
Saham SBMA mencoba membalik tren setelah sempat terbenam di Rp121/saham pada Juli lalu. Semenjak itu, saham SBMA naik dengan kenaikan 68,21% dalam sebulan dan 76,55% dalam 3bulan terakhir.
Sementara, sejak awal tahun (ytd), saham ini masih ambles 39,52%.
Selain SLIS-SBMA, saham emiten batu bara pendatang baru PT Black Diamond Resources Tbk (COAL) tergongkrak dengan kenaikan 10,68% ke Rp570/saham, melanjutkan kenaikan dalam 2 hari sebelumnya.
Selama sepekan, saham COAL mencuat 32,42%. Sementara, sejak listing atawa melantai pada 7 September 2022, harga saham ini sudah meroket 470%.
Sementara, IHSG dibuka turun 0,85%, sedangkan pada 09.42 WIB, penurunan IHSG menyusut menjadi hanya 0,03% ke 7.186.
Indeks saham blue chip atau unggulan, LQ45, minus 0,08% ke 1.028, setelah dibuka sempat merosot di 1.018,47.
Dari pasar Asia, indeks Nikkei 225 Index (Tokyo) ambles 2,32%, Hang Seng Index (Hong Kong) terjun 3,43%, Shanghai Composite terkoreksi 0,24%, dan Straits Times Index (Singapura) melemah 0,43%.
Dari bursa saham AS, Wall Street, indeks Dow Jones turun 522,45 poin, atau 1,7 persen, menjadi 30.183,78, S&P500 kehilangan 66 poin, atau 1,71 persen, menjadi 3.789,93. Nama lainnya, Nasdaq ambles 204,86 poin, atau 1,79 persen, menjadi 11.220,19.
The Fed Kerek Suku Bunga Lagi
Pasar secara umum merespons negatif aksi galak The FEd berdasarkan keputusan rapat FOMC pada Kamis (22/9) dini hari waktu Indonesia.
Pada pukul 01.00 WIB, The Fed mengerek suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) atau 0,75 persen, menjadi di kisaran 3,00 persen-3,25 persen. Angka ini merupakan level tertinggi sejak 2008.
Persentase tersebut sekaligus menunjukkan adanya tren lonjakan Fed funds rate ketiga kalinya sebagai langkah agresif dalam menjinakkan inflasi. Sebelumnya, Fed funds rate berada di level 2,25 persen-2,50 persen.
Kebijakan baru ini juga mencatat Fed telah mengerek suku bunga sebesar 300 basis poin atau 3 persen hanya dalam enam bulan terakhir.
Melalui pertemuan FOMC, Kamis dini hari (22/9/2022), The Fed juga memperkirakan ada lonjakan suku bunga mencapai 4,6 persen pada tahun 2023. Langkah ini bakal diambil secara bertahap sampai perjuangan melawan inflasi benar-benar dihentikan.
Selain lonjakan suku bunga, kebijakan pengetatan kuantitatif (QT)atau pengurangan neraca Fed diperkirakan akan semakin memperketat kondisi keuangan. Diketahui, awal bulan ini, The Fed telah meningkatkan laju QTnya menjadi USD95 miliar per bulan, alias naik dari USD47,5 miliar pada bulan Juni.
Sejumlah pengamat ekonomi dunia sebelumnya menyebut ada peluang suku bunga acuan AS dapat menyentuh area 3,8 persen di akhir tahun, dan akan menembus level 4,4 persen pada tahun depan, yang akan mendorong tingkat pengangguran mendekati level 4,5 persen, sebagaimana ramalan Deutsche Bank, dilansir Reuters, Rabu (21/9/2022).
Dengan ongkos bunga yang lebih tinggi, pasar saat ini dihadapkan dengan masalah perlambatan pertumbuhan, yang ditakutkan akan secara perlahan menggiring ekonomi Paman Sam tersungkur ke dalam jurang resesi.
"Itu adalah risiko yang jauh lebih besar saat ini, dan itu meningkat dengan setiap kenaikan suku bunga,” kata CEO GraniteShares, Will Rhind, mengutip Investing.com.
Sementara itu, pada 14.30 WIB nanti, Bank Indonesia (BI) juga akan mengumumkan soal keputusan suku bunga acuan (BI7DRR).
Menurut jajak pendapat Reuters selama 13-19 September, 27 dari 30 ekonom mengharapkan BI akan menaikan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 4,00 pada rapat nanti.
Tiga ekonom lainnya memperkirakan kenaikan 50 bps.
“Setelah keluar dari kubu hawkish untuk sebagian besar tahun ini, Bank Indonesia mengejutkan [pasar] dengan kenaikan [suku bunga] pada bulan Agustus, yang menurut kami merupakan upaya untuk mengantisipasi kenaikan harga bahan bakar bersubsidi,” tulis Radhika Rao, ekonom senior di Bank DBS, dikutip dari Reuters (20/9).
Sebelumnya, dalam wawancara dengan Reuters, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bank sentral akan menaikkan suku bunga lebih lanjut, tetapi tidak akan seagresif The Fed.(*)
Editor : A.R Bacho
Artikel Terkait