Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI.
Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan respons atas eksistensi DIY. Undang-Undang ini telah diubah dan ditambah, terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 yang di dalamnya dinyatakan bahwa DIY merupakan daerah setingkat provinsi dan meliputi bekas Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah Kadipaten Pakualaman.
Dalam rangka perubahan dan penyesuaian serta penegasan Keistimewaan DIY Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 13/2012 Tentang Keistimewaan DIY yang disahkan 31 Agustus 2012 dan diundangkan pada tanggal 3 September 2012.
Kenapa Yogya Dilafalkan Jogja? Hal ini juga tidak lepas dari ejaan yang berlaku pada masa lalu. Dulu ada ejaan Van Ophuysen yang menuliskan Jogjakarta bukan Yogyakarta. Hal ini mirip dengan naskah proklamasi yang dituliskan Djakarta bukan Jakarta. Selain itu huruf U juga ditulis dengan OE, seperti nama Presiden Suharto yang ditulis dengan Soeharto.
Sementara ejaan yang Disempurnakan (EYD) baru berlaku pada 1972. Penerapan EYD ini berpengaruh terhadap perubahan pelafalan dan penulisan.
Kenapa Kota Yogya Dilafalkan Jogja? Pemda DIY juga sempat menggunakan branding Jogja Never Ending Asia pada 2003 silam untuk mengenalkan Kota Yogyakarta ataupun Provinsi DIY. Selain itu juga banyak bangunan fenomenal seperti Jogja Expo Cente (JEC) ataupun Jogja Tronik yang semakin menguatkan istilah Jogja. Hal ini terus mengalir sampai saat ini dengan branding Jogja Istimewa.
Selain itu, istilah Jogja atau Yogyakarta juga menjadi lebih mudah dan enak dilafalkan dibanding dengan Yogya ataupun Yogyakarta.
(*)