JAKARTA, iNewsSerpong.id - Nabi Muhammad SAW selain sebagai nabi, Beliau seorang pebisnis jujur dan amanah sekaligus juga seorang ekonom.
Beliau mengerti bagaimana menghidupkan sektor-sektor ekonomi, terutama saat krisis ekonomi terjadi.
Hal ini menunjukkan sekaligus menegaskan bahwa Islam adalah agama yang dalam setiap sisi kehidupan bernilai agama.
Setiap sisi kehidupan mengandung nilai agama dan menjadi lumbung pahala bila mengikuti ajaran Islam.
Krisis ekonomi juga pernah terjadi saat Nabi Muhammad SAW masih hidup.
Kondisi perekonomian Kota Madinah pernah menjadi karut-marut yang berakibat terjadinya krisis ekonomi.
Lalu bagaimana cara Rasulullah menghadapi kondisi demikian, terutama menyangkut persoalan ekonomi masyarakat yang semakin sulit dan tidak menentu saat itu?
Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam hadis-hadis sahih menyangkut hal di atas, yakni:
Pertama, Nabi Muhammad SAW melakukan revitalisasi (penguatan) terhadap sumber-sumber produksi masyarakat. Dalam hal ini, sektor pertanian merupakan sumber utama pendapatan masyarakat Madinah saat itu.
Karenanya, Rasulullah menitikberatkan program revitalisasi pertanian di samping sumber-sumber pendapatan lainnya, seperti bahan galian emas, perak, dan sebagainya.
Rasulullah juga mengeluarkan berbagai kebijakan yang bersifat memotivasi masyarakat untuk mencintai pekerjaan pertanian. Beberapa motivasi beliau untuk mengembangkan pertanian dapat kita lihat dari hadis-hadis berikut.
“Setiap orang Islam yang menanam suatu tanaman kemudian dimakan (bermanfaat) bagi burung, manusia, ataupun binatang, maka dihitung sebagai sedekah," tulis HR Bukhari-Muslim.
Motivasi untuk menghidupkan lahan pertanian juga terlihat dalam hadis riwayat Imam Malik yang menyebutkan.
“Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati (kosong, tidak bermanfaat), maka tanah itu berhak dimilikinya," tulis HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud. Demikian dilansir dari Buku Bisnis Ala Nabi karya Mustafa Kamal Rokan, Jakarta, Selasa (29/11/2022).
Dalam hadis lain disebutkan, “Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati sedangkan pemiliknya tidak sanggup mengurus dan takut musnah, maka baginya tanah tersebut," tulis HR Bukhari.
Hadis-hadis di atas muncul sebagai upaya Rasulullah untuk melakukan revitalisasi faktor-faktor produksi yang ada, seperti tanah dan hutan. Sebagaimana diketahui bahwa sektor pertanian adalah sumber ekonomi masyarakat Madinah yang sangat diandalkan.
Bahkan, perhatian Rasulullah terhadap pentingnya sektor pertanian ini dapat juga dilihat dari kebijakan Rasulullah yang tetap membolehkan kaum Yahudi di Khaibar untuk tetap tinggal di tempat mereka, padahal mereka adalah bangsa yang diusir akibat melanggar Perjanjian Madinah. Secara politis, kebijakan ini dimaksudkan untuk penguatan faktor-faktor produksi yang sudah ada.
Kedua, Rasulullah melakukan 'nasionalisasi' sumber-sumber ekonomi untuk kepentingan umum. Sumber-sumber ekonomi Negara Madinah saat itu tidak diberikan kepada kepemilikan pribadi, tetapi sebaliknya, sumber-sumber ekonomi yang menghidupi orang banyak yang melibatkan kepentingan umum harus dikuasi oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Saat itu sumber ekonomi yang sangat dominan adalah tanah yang berisikan padang rumput sebagai tempat makanan binatang ternak. Demikian juga lokasi sumber garam, sumber air, dan sebagainya tidak diberikan kepemilikannya kepada pribadi.
Kebijakan ini jelas terlihat dalam kisah sahabat yang bernama Abyad bin Hammal. Awalnya, Abyad bin Hammal menuntut diberikan satu bidang tanah di daerah Ma’rib, kemudian Rasulullah mengabulkan permintaan itu.
Namun, seorang laki-laki bernama Aqra’ bin Habis berdiri sambil bertanya kepada Rasulullah SAW “Adakah Engkau tahu kondisi
lokasi itu sebenarnya?” sembari menjelaskan bahwa kawasan itu adalah sumber air yang menghasilkan garam. Mendengar penjelasan tersebut, Rasulullah menarik kembali pemberian daerah yang telah diberikannya kepada Abyad bin Hammal," tulis HR Abu Dawud dan Tirmidzi.
Demikian juga ketika Abyad bin Hammal mengajukan permohonan untuk memiliki tanah yang berisikan pohon alArak (kayunya dapat dimanfaatkan sebagai kayu sugi). Rasulullah hanya mengizinkan daerah itu dengan syarat harus jauh dari tempat pemukiman penduduk pusat Pasar Madinah. Sebab, kawasan pinggiran Madinah adalah kawasan perumahan dan padang rumput sebagai tempat makanan hewan-hewan ternak.
Dalam hal pasar, pendirian pasar adalah salah satu agenda nasionalisasi yang dilakukan Rasulullah dan umat Islam sesampainya di Madinah pascahijrah. Sebagai kota yang telah lama berdiri, Madinah adalah kota yang telah mempunyai infrastruktur seperti pasar. Pasar yang telah eksis di sana adalah pasar Bani Qainuqa’ yang dikuasai orang Yahudi.
Karenanya, pendirian pasar menjadi agenda yang sangat penting. Mulanya, lokasi pasar Madinah adalah di Baqi Zubair. Nabi pun memasang tenda di tempat itu sebagai tanda akan dibangun pasar 'baru'.
Namun, Ka’ab bin al-Asyraf seketika datang dan marah-marah serta memutus tali-tali tenda yang didirikan Nabi. Melihat hal tersebut, Nabi tidaklah marah dan merasa bukan hal yang perlu dipermasalahkan. Seketika itu, lokasi pasar pun dipindahkan ke tempat yang kemudian dikenal dengan Pasar Madinah.
Sabd Nabi saat mendapatkan lokasi pasar tersebut adalah “Ini pasar kalian, jangan sempitkan dan jangan ada retribusi” (Ketika Nabi di Kota, 2010: 77).
Kebijakan nasionalisasi sumber-sumber ekonomi juga jelas terlihat pada saat sahabat Rasulullah Saw., Huraits bin Hasan, sebagai perwakilan Bani Bakr bin Wa’il menghadap Rasulullah sebagai pemimpin saat itu. Huraits mengajukan permohonan untuk diberikan tanah yang tidak bersatu dengan Bani Tamim, tetapi tanah yang berdekatan dengan tempat tersebut.
Mendengar permintaan itu, Rasulullah pun langsung menyuruh petugas untuk membuat surat pemberian tanah di daerah al-Dahna’ untuk Bani Tamim. Melihat itu, seorang wanita memprotes dengan berkata, “Wahai, Rasulullah, permohonan itu tidak adil sebab daerah al-Dahna’ itu adalah kawasan tempat makan ternak unta dan padang rumput ternak kambing.
Tempat itu juga adalah kawasan permukiman wanita Bani Tamim dan anak-anaknya.” Mendengar itu, Rasulullah bersabda, “Hentikan menulis kontrak itu. Apa yang dikatakan wanita ini benar. Seorang muslim itu adalah seorang muslim lainnya dan bersama-sama memanfaatkan air dan tumbuh-tumbuhan serta bersama-sama mengelakkan dari permusuhan setan.”
Kisah-kisah di atas menggambarkan betapa Rasulullah melakukan nasionalisasi sumber-sumber ekonomi yang merupakan hajat hidup orang banyak. Dan sebaliknya, Rasulullah justru menolak adanya privatisasi (kepemilikan secara pribadi atau sekelompok orang) dari sumber-sumber ekonomi negara.
Selain itu, kisah ini juga menunjukkan betapa kedaulatan negara terhadap wilayah dan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk digunakan sebesar-besarnya itu penting bagi kemakmuran rakyat.
Sebaliknya, negara yang tidak berdaulat adalah negara yang kekayaannya dapat dimiliki oleh kepentingan pribadi ataupun korporasi.
Dengan strategi demikian, akhirnya Rasulullah dapat keluar dari krisis ekonomi pada saat itu. Para sejarawan mengatakan bahwa krisis berakhir dan ekonomi masyarakat telah stabil setelah Perang Hunain. Wallahualam
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait