Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
TAHAPAN PUNCAK pelaksanaan ibadah haji, yakni wukuf di Arafah, sudah selesai dilaksanakan oleh seluruh jamaah haji tahun 1444 H. Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Haji adalah wukuf di Arafah. Maka siapa yang mendapati Arafah pada malam hari sebelum terbit fajar, sesungguhnya dia telah mendapatkan haji.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Seiring dengan itu, maka secara bertahap jamaah haji asal Indonesia pun mulai kembali ke tanah air sejak 4 Juli 2023 yang lalu. Tentunya kita menyambut kedatangan para jamaah haji Indonesia dengan penuh suka cita, dan berharap semoga seluruhnya menjadi haji yang mabrur.
Tak lupa kita juga mendo’akan semoga seluruh jamaah haji yang wafat di tanah suci husnul khotimah dan syahid di jalan Allah SWT. Demikian pula kita mendo’akan agar seluruh keluarga yang ditinggalkannya diberikan ketabahan dan kesabaran.
Kembali kepada haji mabrur, ini merupakan harapan dan do’a tertinggi bagi orang yang menunaikan ibadah haji. Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Umrah ke umrah yang lainnya adalah penebus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pribadi lebih Saleh
Seseorang yang meraih haji mabrur, secara individual akan menjadi pribadi yang lebih saleh jika dibandingkan dengan sebelumnya. Semula dia gemar menjalankan segala bentuk kebaikan, kini dia menjadi orang terdepan dalam menjalankan kebaikan. Sebelumnya dia selalu terinspirasi orang lain dalam beramal saleh, kini dia menjadi sumber inspirasi bagi orang lain dalam beramal saleh.
Begitulah sebagian dari ciri-ciri dari seseorang yang memperoleh haji mabrur. Intinya adalah adanya perubahan sikap dan kebiasaan dari seseorang setelah pergi berhaji menuju sikap dan kebiasaan yang lebih baik lagi.
Namun demikian, predikat haji mabrur tidaklah dapat diklaim oleh seseorang yang sudah berhaji. Haji mabrur juga bukanlah predikat yang dapat diberikan oleh seseorang atau suatu lembaga. Predikat haji mabrur adalah hak prerogatif Allah SWT. Oleh karenanya, bagi siapa saja yang ingin memperoleh predikat haji mabrur hendaknya berhaji dengan niat karena Allah saja serta memenuhi seluruh syarat dan rukunnya.
Selain kesalehan individual yang semakin tampak pada diri seseorang yang meraih predikat haji mabrur, kesalehan sosialnya pun lebih tampak dan semakin menonjol dalam kehidupan sehari-harinya. Hidupnya menjadi lebih bermanfaat bagi orang banyak, senantiasa menebarkan kedamaian, berbicara dengan santun, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, diceritakan bahwa suatu ketika para sahabat bertanya kepada Baginda Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?” Baginda Rasulullah SAW pun menjawab: “Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian.”
Sementara itu, dalam hadits yang lain Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Haji mabrur, tiada balasan lain kecuali surga.” Lalu para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa (tanda) mabrurnya?” Rasulullah SAW menjawab: “Memberikan makan kepada orang lain dan melontarkan ucapan yang baik.” (HR. Ahmad, At-Thabrani, dan Al-Baihaqi).
Kesalehan individual maupun sosial dari seseorang yang meraih haji mabrur sejatinya adalah aktualisasi dari seluruh tahapan ibadah haji yang dilakukan seseorang. Coba kita simak kalimat talbiyah yang senantiasa diucapkan oleh seseorang yang menunaikan ibadah haji sebagai berikut:
Artinya: “Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sungguh, segala puji, nikmat, dan segala kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”
Jika kita perhatikan kalimat talbiyah di atas, maka sejatinya kalimat talbiyah mengandung makna yang luar biasa yakni pengakuan, kepasrahan, sekaligus kepatuhan dari seorang hamba kepada Tuhannya yaitu Allah SWT. Sikap-sikap tersebut, adalah modal yang sangat kuat bagi seseorang untuk bersikap jujur, rendah hati, dan ikhlas serta sikap-sikap baik lainnya.
Demikian pula dengan pakaian ikhram. Ketika seorang jamaah haji telah menanggalkan baju kesehariannya kemudian diganti dengan pakaian ikhram, maka itu maknanya dia telah harus menanggalkan segala bentuk sifat dan sikap buruk yang ada pada dirinya, digantikan dengan sifat dan sikap terpuji yang harus ada pada diri seorang hamba.
Begitu banyak makna yang terkandung dalam setiap tahapan ibadah haji. Setiap tahapan memiliki makna tersendiri, bukan hanya sekedar ritual tanpa makna yang hakiki. Thawaf misalnya. Allah SWT berfirman yang artinya: “Hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj [22]: 29).
Thawaf memberikan pengertian kepada seluruh jamaah haji tentang hakikat keberadaan Allah dan manusia sebagai makhluk-Nya. Manusia adalah makhluk yang sangat bergantung kepada Allah SWT, sehingga inti perputaran dan pernyataan thawaf adalah lantunan do’a, dzikir, tasbih, dan kalimat thayibah lainnya.
Haji mabrur merupakan harapan dan doa tertinggi bagi orang yang menunaikan ibadah haji. (Foto : Ist)
Thawaf mengelilingi ka’bah yang merupakan simbol pemersatu umat Islam. Ke arah ka’bahlah seluruh umat Islam menghadap saat mendirikan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh umat Islam hendaknya bersatu dalam bingkai ukhuwah islamiyah dan membuang jauh-jauh fanastisme golongan.
Berkumpulnya seluruh jamaah haji untuk melaksanakan wukuf di padang Arafah nan gersang hingga terbenamnya matahari, adalah simbol bahwa setiap manusia tidak akan bisa hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia hendaknya hidup bersama dan berdampingan dengan penuh kedamaian.
Wukuf di Arafah juga mengingatkan kepada seluruh jamaah haji akan adanya padang mahsyar. Di padang mahsyarlah nanti seluruh manusia akan dikumpulkan. Seluruh manusia akan dihisab, dan diberikan balasan atas seluruh amal perbuatannya berupa surga atau neraka.
Demikian pula dengan melempar jumrah. Dengan melakukan lempar jumrah, sejatinya seluruh jamaah haji sedang memasuki tahapan melenyapkan musuh yang nyata bagi dirinya yaitu nafsu setan. Tiang yang menjadi sasaran saat melemparkan batu kerikil, merupakan simbol dari hawa nafsu dan setan yang senantiasa menggoda hati manusia untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat.
Sementara itu, sa’i memberikan pendidikan kepada seluruh jamaah haji bahwa hidup ini penuh dengan perjuangan, pengorbanan dan keikhlasan yang keseluruhannya harus disertai dengan do’a dan harapan kepada Allah SWT. Tugas manusia hanyalah berjuang sesuai dengan koridor yang ada, Allah jualah yang akan menentukan hasil akhir terbaik bagi masing-masing manusia.
Tahallul atau memotong rambut adalah rangkaian ibadah haji yang mengajarkan pentingnya kejernihan hati dan pikiran dalam setiap tindakan yang dilakukan seseorang. Tahallul juga mengisyaratkan pembersihan jiwa dari sifat-sifat buruk yang cenderung mengajak manusia berbuat dosa dan maksiat.
Oleh karenanya, jamaah haji yang meraih predikat mabrur tentunya akan terlahir kembali sebagai manusia baru yang memiliki sifat dan sikap mulia. Dengan sifat dan sikap mulianya itu, maka jadilah dia manusia baru yang memiliki kesalehan secara individual maupun sosial. (*)
Setiap tahapan ibadah haji memiliki makna tersendiri, bukan hanya sekedar ritual tanpa makna yang hakiki. (Foto : Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait