Selain itu, teknologi OCR (optical character recognition) mampu mengenali karakter dari gambar dan mengubahnya menjadi teks yang dapat dibaca oleh pembaca layar.
Meski AI membawa banyak manfaat, Suryo dan Fakhry sepakat bahwa ada beberapa hal yang perlu diwaspadai, di antaranya kemampuan berpikir, interaksi sosial, dan keamanan data.
“Teknologi AI membuat orang menjadi malas berpikir. Dengan ChatGPT, misalnya, kita bisa mendapatkan jawaban dengan mudah, sehingga ada kecenderungan untuk lebih memilih berinteraksi dengan aplikasi daripada dengan teman sendiri."
Selain itu, masalah keamanan data juga menjadi perhatian penting. Suryo menekankan bahwa banyak tunanetra yang belum sepenuhnya menyadari risiko keamanan saat menggunakan teknologi digital.
“Teman-teman seringkali hanya tahu bahwa mereka dapat mengakses perbankan lewat perangkat tanpa benar-benar memahami risiko di baliknya, sehingga mereka membagikan informasi pribadi atau mengunduh aplikasi yang bisa membahayakan," cerita Suryo dengan rasa khawatir kepada penulis.
Dalam konteks pengembangan aplikasi AI, Fakhry menekankan bahwa fokus utama seharusnya bukan pada penciptaan aplikasi khusus untuk tunanetra, melainkan pada upaya membuat aplikasi yang sudah ada menjadi lebih aksesibel. Para pengembang teknologi harus memberikan perhatian lebih terhadap aspek aksesibilitas ini, sehingga tunanetra dapat memanfaatkan teknologi dengan lebih optimal.
Selain perkembangan AI, inisiatif untuk meningkatkan kemandirian tunanetra juga hadir melalui berbagai program pengabdian masyarakat. Salah satunya adalah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), di mana Universitas Multimedia Nusantara (UMN) bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra. Program PKM ini bertujuan untuk memberdayakan komunitas tunanetra melalui pelatihan keterampilan di bidang podcasting. (*)
Meski AI membawa banyak manfaat, ada beberapa hal perlu diwaspadai, di antaranya kemampuan berpikir, interaksi sosial, dan keamanan data. (Foto: Keira Putri Minerva)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait