Pahlawan Di Mata Bangsa dan Di Hati Rakyat

Penulis : Syahrir Rasyid
Presiden ke-2 RI, HM Soeharto. (Foto: Ist)

OPINI: Oleh  Syahrir Rasyid, Pimpinan Redaksi iNewsSerpong

DARI HM Soeharto hingga aktivis buruh Marsinah, nama-nama besar itu kini resmi menyandang gelar Pahlawan Nasional.

Upacara penganugerahan digelar di Istana Negara, dipimpin Presiden Prabowo Subianto, di hadapan keluarga penerima dan para pejabat negara.

Namun, di balik seremoni penuh khidmat itu, terselip dinamika panjang dan perdebatan yang tak sederhana.

Penetapan gelar pahlawan bagi mantan Presiden ke-2 RI, HM Soeharto, misalnya, menjadi yang paling menyita perhatian publik.

Sebagai Bapak Pembangunan Nasional, Soeharto dikenang atas keberhasilannya membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi di era 1960-an menuju stabilitas dan kemajuan. Di masa pemerintahannya, pembangunan infrastruktur, pertanian, hingga pendidikan tumbuh pesat.

Namun di sisi lain, bayang-bayang masa lalu sulit dihapus. Catatan pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan otoritarianisme masih membekas di ingatan banyak orang.

Sejumlah organisasi HAM menyebut penetapan Soeharto sebagai pahlawan sebagai upaya “memutihkan sejarah” yang kelam — terutama tragedi seperti Tanjung Priok dan kekerasan politik era Orde Baru.

Terkait hal itu, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menegaskan bahwa seluruh nama yang ditetapkan telah melalui proses seleksi ketat dan memenuhi seluruh persyaratan yang diatur undang-undang.

“Semua sudah dilalui prosesnya. Siapa pun yang ditetapkan oleh Presiden tentu sudah memenuhi seluruh syarat,” ujar Gus Ipul, Minggu (9/11/2025), seperti dikutip iNewsSerpong.

Selain gelar kehormatan, pemerintah juga memberikan tunjangan kehormatan sebesar Rp57 juta per tahun kepada keluarga pahlawan nasional sebagai bentuk penghargaan negara terhadap jasa mereka.

Namun Gus Ipul mengingatkan, nilai ini bukan semata-mata soal uang, melainkan simbol penghormatan atas semangat perjuangan.

Pahlawan dalam Pandangan Islam

Islam memandang kepahlawanan bukan hanya dari keberanian di medan perang, melainkan dari keikhlasan berjuang menegakkan kebenaran.

Rasulullah SAW bersabda: “Mujahid sejati adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya.” (HR. Ahmad)

Artinya, siapa pun yang berjuang melawan kezaliman, kebodohan, kemiskinan, dan nafsu diri — ia sejatinya adalah pahlawan.

Dalam konteks kekinian, menjadi pahlawan tidak harus dengan senjata di tangan. Seorang guru yang sabar mendidik muridnya, pemimpin yang adil dan amanah, hingga masyarakat yang peduli terhadap sesama — semuanya termasuk pejuang di jalan kebaikan.

Rasulullah juga bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)

Refleksi di Hari Pahlawan

Penganugerahan 10 Pahlawan Nasional tahun ini bukan hanya soal nama dan gelar, tetapi juga pengingat bagi generasi muda bahwa perjuangan tidak pernah berakhir.

Entah itu Soeharto yang dikenal sebagai simbol pembangunan, atau Marsinah yang gugur memperjuangkan hak buruh — keduanya menandai bahwa jalan menuju kemerdekaan sejati ditempuh dengan pengorbanan, keberanian, dan keikhlasan.

Pahlawan, pada akhirnya, bukan hanya mereka yang diabadikan dalam keputusan presiden, tetapi juga setiap orang yang memilih untuk berbuat baik — sekecil apa pun — bagi bangsanya.

Karena sejatinya, pahlawan tidak selalu harus dikenang, asal perjuangannya tetap hidup dalam hati rakyat. (*)


Aktivis buruh Marsinah. (Foto: Ist)

 

 

 

 

 

 

 

 

Editor : Syahrir Rasyid

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network