WASHINGTON, iNewsSerpong.id – Fenomena politik telah mencuri perhatian warga Amerika Serikat (AS). Gelombang kemenangan politisi Muslim dalam pemilihan kepala daerah di AS tahun ini makin meningkat.
Setelah Zohran Mamdani mencatat sejarah sebagai wali kota Muslim pertama di New York, lima politisi Muslim lainnya juga berhasil meraih posisi strategis di berbagai kota, bahkan hingga tingkat wakil gubernur negara bagian.
Menurut Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), total enam politisi Muslim telah dan akan memimpin jabatan eksekutif daerah, ditambah lebih dari 30 kandidat Muslim lainnya yang menang di tingkat lokal dan legislatif.
Lanskap Sosial dan Politik AS
Fenomena ini bukan hanya soal jumlah, tetapi juga menandai perubahan besar dalam lanskap sosial dan politik AS.
Apa makna di balik meningkatnya kemenangan politisi Muslim di negeri yang pernah dilanda gelombang Islamofobia pasca-11 September?
1. Muslim Kian Diterima di Ranah Politik AS
Kemenangan para tokoh Muslim seperti Zohran Mamdani (New York), Abdullah Hammoud (Dearborn), Mo Baydoun (Dearborn Heights), Faizul Kabir (College Park), Ted Green (East Orange), hingga Ghazala Hashmi (Wakil Gubernur Virginia), menggambarkan era baru keterbukaan politik Amerika.
Dulu, identitas Muslim sering menjadi hambatan elektoral. Kini justru menjadi bagian dari keragaman yang dirayakan.
CAIR menyebut, “Muslim Amerika kini tak lagi hanya jadi penonton politik, tapi menjadi pembuat keputusan.”
2. Dampak Perubahan Demografi
Komunitas Muslim tumbuh pesat dalam dua dekade terakhir, terutama di Michigan, New Jersey, dan Virginia. Generasi muda yang terdidik, aktif, dan vokal membuat suara Muslim semakin diperhitungkan.
Koalisi progresif multirasial menjadi pendorong kemenangan figur seperti Mamdani dan Hammoud, yang dinilai membawa nilai keadilan sosial dan inklusivitas.
3. Politik Identitas yang Berbalik Arah
Jika dulu identitas agama acap digunakan untuk memojokkan kandidat Muslim, kini justru menjadi simbol kebangkitan minoritas.
Pemilih muda—Demokrat maupun independen—lebih menilai kapasitas dan visi ketimbang latar belakang agama.
Seorang pengamat Brookings Institution menyebut fenomena ini sebagai “kemenangan Amerika yang lebih inklusif”.
4. Reaksi terhadap Islamofobia
Era Donald Trump ditandai retorika anti-Muslim dan kebijakan imigrasi ketat.
Hal ini memicu komunitas Muslim untuk lebih aktif terlibat dalam politik.
Keterlibatan politik menjadi bentuk perlawanan damai—melawan stigma dengan prestasi, representasi, dan kepemimpinan nyata.
5. Babak Baru Demokrasi Amerika
Dari 76 kandidat Muslim yang dipantau CAIR, sebanyak 38 menang—angka tertinggi dalam sejarah AS.
Ini menunjukkan demokrasi Amerika masih menyediakan ruang luas bagi keberagaman keyakinan dan etnis.
Identitas minoritas kini tidak lagi menjadi beban politik, melainkan kekuatan sosial yang menggerakkan perubahan.
6. Simbol Amerika yang Lebih Inklusif
Dari New York hingga Virginia, dari wali kota hingga wakil gubernur, wajah perpolitikan Amerika semakin mencerminkan realitas masyarakatnya yang beragam.
CAIR menegaskan, “Muslim Amerika hadir, bersuara, dan turut membentuk masa depan demokrasi kita.”
Fenomena ini menunjukkan bahwa perjuangan representasi bukan hanya soal agama, tetapi tentang hak setiap warga untuk dilihat, diakui, dan didengar dalam demokrasi. (*)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait
