Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. - Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
SUATU malam di sebuah pondok pesantren, Pak Kyai sedang menjelaskan tentang pentingnya khusyuk di dalam shalat. Pak Kyai menjelaskan dengan gamblang tema yang dibahas kepada seluruh santrinya.
Pak Kyai memaparkan bahwa shalat adalah amal yang pertama kali dihisab di hari kiamat. Dalam proses hisab ini, akan dinilai kualitas shalat seseorang. Jika kualitas shalat seseorang itu baik, maka baik pula amal yang lainnya, demikian pula sebaliknya.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan, jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi.” (HR. At-Tirmidzi).
Salah satu penentu kualitas shalat adalah khusyuk. Makna khusyuk di dalam shalat adalah tunduk dan hadirnya hati pada saat melaksanakan shalat. Kehadiran hati pada saat melaksanakan shalat, akan membuat shalat seseorang mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar.
Untuk memperkuat penjelasan bahwa shalat mampu mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar, Pak Kyai merujuk sebuah ayat dari Al-Qur’an surat Al-‘Ankabut [29] ayat 45: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”.
Tiba-tiba seorang santri mengacungkan tangannya dan bertanya kepada Pak Kyai: “Pak Kyai, bagaimana caranya supaya bisa shalat khusyuk?”
“Saya sudah berusaha dan mencobanya berkali-kali, tetapi selalu gagal. Saya takut, amal saya yang lain menjadi buruk seiring dengan kegagalan saya dalam melaksanakan shalat dengan khusyuk, Pak Kyai.”, tambah santri tersebut yang tampak sedih.
Pak Kyai pun tersenyum. Namun, Pak Kyai tidak menjawab pertanyaan santri tersebut, melainkan memintanya untuk membawakan segelas air minum dari dapur.
“Tolong bawa air minum dalam gelas, jangan lupa gelasnya ditutup ya.”, pinta Pak Kyai kepada santrinya.
Sang santri pun langsung bergegas mengambil air minum dari dapur sesuai dengan permintaan Pak Kyai. Dia datang dengan terburu-buru mengantarkan segelas air ke Pak Kyai dan menyimpannya di meja di hadapan Pak Kyai.
Pak Kyai kembali tersenyum dan berkata: “Pantas kamu tidak bisa shalat khusyuk.”
Sang santri masih bingung dengan perkataan Pak Kyai.
Melihat santrinya bingung, Pak Kyai berkata: “Sudahlah, tidak perlu kamu pikirkan, yang jelas mulai hari ini kamu memiliki tugas baru dariku yaitu membawa segelas air minum setiap kali aku mengajar, dan jangan lupa gelasnya ditutup seperti ini.”
“Baik, Pak Kyai.” jawab sang santri singkat.
Kajian malam itu pun selesai, dan seluruh santri kembali ke kamarnya masing-masing.
Namun, bagi sang santri penanya, justru kajian baru dimulai. Dia berpikir keras tentang maksud dari permintaan dan perkataan Pak Kyai. “Apa sebernarnya maksud Pak Kyai?”, gumam sang santri.
Dia susah tidur karena dia terus berpikir dan berusaha menghubung-hubungkan permintaan dan perkataan Pak Kyai dengan shalat khusyuk yang menjadi masalahnya. Namun, karena aktivitas siang hari di pesantren cukup padat, maka akhirnya dia pun dapat tertidur.
Malam berikutnya, seluruh santri sudah duduk rapih dan siap untuk kembali menerima ilmu dari Pak Kyai. Tak lama Pak Kyai pun datang. Setelah Pak Kyai membuka pengajarannya, maka sang santri penanya bergegas meminta izin untuk mengambil air minum kepada Pak Kyai.
Seperti malam sebelumnya, sang santri datang tergopoh-gopoh membawa segelas air minum ke hadapan Pak Kyai dan menyimpannya di meja. Pak Kyai pun kembali tersenyum dan berkata: “Pantas kamu tidak bisa shalat khusyuk.”
Kejadian seperti di atas, terus berulang hingga pertemuan di malam yang ketiga. Karena sudah tiga kali mendengar perkataan seperti itu dari Pak Kyai, sang santri tidak tahan lagi memendam tanya yang ada di dalam pikirannya.
Dia pun memberanikan diri untuk bertanya: “Mohon maaf Pak Kyai, maksud permintaan dan perkataan Pak Kyai tiga malam berturut-turut kepada saya itu apa?”
“Apa hubungnya dengan pertanyaan saya sebelumnya tentang shalat khusyuk yang belum bisa saya lakukan?” tanya sang santri yang penasaran.
Pak Kyai lagi-lagi tersenyum dan berkata: “Wahai anakku, sabarlah. Tenangkan dulu pikiranmu, baru nanti akan aku jawab seluruh pertanyaanmu itu.”
Setelah melihat santrinya tenang, kemudian Pak Kyai menjelaskan maksud dari permintaan dan perkataan yang beliau berikan kepada santrinya itu.
“Wahai anakku, pada saat engkau membawa segelas air minum, aku lihat engkau membawanya dengan terburu-buru, sehingga ada air yang tumpah dan ada gelembung di bagian atas dari gelas tersebut. Selain itu, bagian dalam penutupnya juga basah terkena air.” kata Pak Kyai.
“Cara membawa air seperti itu, cenderung membahayakan buat diri kamu sendiri dan juga orang lain. Karena bisa saja tumpahan air dari gelas, membuat kamu atau orang lain terpeleset bahkan terjatuh.” tambah Pak Kyai.
“Berbeda jika kamu membawa air dengan tenang dan hati-hati, maka air tidak akan tumpah dan bagian atas gelas maupun bagian dalam tutup gelas juga tidak akan basah.” sambung Pak Kyai.
Sang santri menganggukkan kepalanya mendengar penjelasan Pak Kyai. Namun, dia masih belum memahami hubungannya dengan shalat khusyuk yang menjadi masalahnya kemarin.
“Jadi, mulai besok kamu membawa airnya hati-hati dan pelan-pelan saja ya, Nak.” kata Pak Kyai.
Sang santri pun menganggukkan kepalanya dan berkata: “Baik, Pak Kyai.”
Kajian pada malam berikutnya, seperti biasa Pak Kyai memulai pembahasan tentang shalat.
Namun, ada yang berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Santri yang biasa datang membawa air dengan tergopoh-gopoh, kini datang membawa air dengan langkah yang perlahan dan hati-hati.
Air pun disimpan di meja di hadapan Pak Kyai. Pak Kyai kembali tersenyum dan berkata: “Nah, sekarang baru kamu bisa shalat khusyuk, Nak.”
Sontak sang santri bertanya: “Maksudnya bagaimana Pak Kyai?”
“Cara kamu membawa air yang perlahan dan hati-hati, tidak menyebabkan air menjadi tumpah. Itu artinya, kamu telah mencegah diri dan orang lain dari bahaya terpeleset atau terjatuh.” jawab Pak Kyai.
“Jadi anak-anakku, shalat yang khusyuk itu memerlukan ketenangan dan kehati-hatian, serta tidak terburu-buru, baik dari segi bacaannya yang harus tartil, gerakannya yang harus tuma’ninah, maupun kehadiran hati selama shalat didirikan.” papar Pak Kyai.
“Dengan cara shalat seperti itu, khusyuk didapatkan. Shalat khusyuk itulah yang mampu mencegah dari perbuatan yang mengantarkan kepada kecelakaan, yaitu perbuatan keji dan munkar. Shalat khusyuk pula yang akan mengundang datangnya pertolongan Allah SWT.” tambah Pak Kyai.
Allah SWT berfirman: “Dan mintalah pertolongan kamu sekalian dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 45).
Sang santri pun akhirnya dapat memahami maksud permintaan dan perkataan Pak Kyai serta hubungannya dengan shalat khusyuk.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : Dok Pribadi)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait