JAKARTA, iNewsSerpong.id - Kisah Siti Hajar berlari bolak-balik dari Shafa ke Marwah hingga 7 kali dan tangis Ismail yang kelaparan hingga munculnya air zamzam amatlah bersejarah.
Apa yang dilakukan Siti Hajar itu kini menjadi salah satu rukun haji yang wajib dilaksanakan umat Islam yang melaksanakan haji, yaitu sa’i.
Dalam buku "99 Kisah Menakjubkan dalam Al-Quran" karya Ridwan Abary disebutkan sejarah asal-usul air Zamzam tersebut bermula setelah Nabi Ibrahim dan Siti Hajar dikaruniai seorang anak, yakni Ismail, setelah penantian yang panjang.
Tatkala Ismail masih balita Nabi Ibrahim memindahkan anak dan istrinya tersebut ke lembah yang berdekatan dengan Kakbah.
Lalu beliau bertolak kembali ke negeri Syam. Melihat kepergian suaminya, Siti Hajar bertanya, “Pergi ke mana engkau Ibrahim? Apakah kau tega meninggalkan kami di tempat yang sunyi dan juga tandus ini?”.
Karena tidak juga dijawab oleh suaminya, Siti Hajar kembali bertanya, “Adakah kepergianmu ini adalah perintah dari Allah?” Nabi Ibrahim kemudian mengiyakan pertanyaan dari istrinya tersebut.
Siti Hajar kemudian kembali berkata, “Jikalau demikian, pasti Allah tak akan menyia-nyiakan nasib kita.” Di atas bukit yang jauh dari tempat istri dan anaknya ditinggalkan, Nabi Ibrahim menahan rasa sedihnya.
Sungguh berat rasanya meninggalkan mereka di tempat yang begitu sepi tanpa makanan dan minuman yang memadai serta tanpa seseorang yang menemani.
Di saat inilah beliau mengangkat lengannya dan memanjatkan doa kepada Sang Khalik untuk keselamatan keduanya sebagaimana yang tertuang dalam surah Ibrahim [14] ayat 37.
Setelah kepergian Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Ismail mulai merasa kelaparan dan kehausan. Bekal yang diberikan oleh Nabi Ibrahim pun sudah habis. Karena tidak tega melihat anaknya kehausan dan kelaparan, ia akhirnya memutuskan untuk pergi mencari makanan atau minuman.
Siti Hajar kemudian bergegas menuju Bukit Shafa. Namun sesampainya di atas, Siti Hajar tidak menemukan apapun.
Siti Hajar turun kembali menuju Bukit Marwah. Namun, tidak juga ia menemukan makanan ataupun minuman. Kemudian ia kembali ke bukit Shafa, kembali lagi ke bukit Marwah. Begitu seterusnya hingga tujuh kali.
Apa yang dilakukan Siti Hajar itu kini menjadi salah satu rukun haji yang wajib dilaksanakan umat Islam yang melaksanakan haji, yaitu sa’i.
Ketika sedang berada di atas bukit Marwah, Siti Hajar tiba-tiba mendengar suara. Setelah berlari ke sana kemari tanpa menemui seorang pun, ia beranggapan bahwa itu suara hatinya saja.
“Rasa letih mungkin membuat pikirannya kacau”, ujarnya di dalam hati. Tapi suara itu terdengar kembali lagi dan lagi. Ternyata, beliau memang benar-benar mendengar sebuah suara. Ia segera kembali ke tempat nabi Ismail berada.
Ketika ia sampai, Nabi Ismail sedang menangis sembari menghentak-hentakkan kakinya ke tanah.
Dari hentakan kaki Ismail tersebut, kemudian mengalirlah air dari dalam tanah. Siti Hajar kemudian berkata, “berkumpulah”, yang dalam bahasa Arab adalah zam-zam.
Akhirnya Hajar dapat minum air dan menyusui anaknya kembali. Kemudian malaikat berkata kepadanya:
لَا تَخَافُوا الضَّيْعَةَ فَإِنَّ هَا هُنَا بَيْتَ اللَّهِ يَبْنِي هَذَا الْغُلَامُ وَأَبُوهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَهْلَهُ
“Janganlah kamu takut diterlantarkan, karena di sini adalah rumah Allah, yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.”
Doa Terkabul
Ja'far Subhani dalam bukunya berjudul "Ar-Risalah" juga mengisahkan hal senada, tatkala bekal makanan dan minuman yang dibawa sudah habis maka air susu Hajar pun kering.
Kondisi putranya mulai merosot. Air mata mengucur dari ibu yang terasing itu dan membasahi pangkuannya.
Dalam keadaan amat bingung, ia bangkit berdiri lalu pergi ke bukit Shafa. Dari sana ia melihat suatu bayangan dekat bukit Marwah.
Ia pun lari ke sana. Namun, pemandangan palsu itu sangat mengecewakannya. Tangisan dan keresahan putranya tercinta menyebabkan ia lari lebih keras ke sana ke mari.
Demikianlah, ia berlari tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwah untuk mencari air, tetapi pada akhirnya ia kehilangan semua harapan, lalu kembali kepada putranya.
Bihar al-Anwar dalam Tafsir al-Qummi menambahkan si anak tentulah telah hampir sampai pada nafasnya yang terakhir.
Kemampuannya meratap atau menangis sudah tiada. Namun, justru pada saat itu doa Ibrahim terkabul. Ibu yang letih lesu itu melihat bahwa air jernih telah mulai keluar dari bawah kaki Isma'il.
Sang ibu, yang sedang menatap putranya dan mengira ia akan mati beberapa saat lagi, merasa sangat gembira melihat air itu.
Ibu dan anak itu minum sampai puas, dan kabut putus asa vang telah merentangkan bayangannya pada kehidupan mereka pun terusir oleh angin rahmat Ilahi.
Suku Jurhum
Alkisah, Ismail dan Siti Hajar kemudian bermukim di sekitar lembah tersebut. Munculnya sumber air ini, sejak hari itu, membuat burung-burung air terbang di atasnya, membentangkan sayapnya yang lebar sebagai penaung kepala ibu dan anak yang telah menderita itu.
Orang-orang dari suku Jurhum, yang tinggal jauh dari lembah ini, melihat burung-burung yang beterbangan ke sana ke mari itu.
Mereka lalu menyimpulkan bahwa telah ada air di sekitarnya. Mereka mengutus dua orang untuk mengetahui keadaan itu.
Setelah lama berkeliling, kedua orang itu sampai ke pusat rahmat Ilahi itu. Ketika mendekat, mereka melihat seorang wanita dan seorang anak sedang duduk di tepi suatu genangan air.
Mereka segera kembali dan melaporkan hal itu kepada para pemimpin sukunya. Para anggota suku itu segera memasang kemah mereka di sekitar sumber air yang diberkati itu, dan Hajar pun terlepas dari kesulitan dan pahitnya kesepian yang dideritanya.
Sejak itu, orang-orang mulai berdatangan dan tinggal di sana. Melalui Suku Jurhum Nabi Ismail belajar bahasa Arab.
Selain itu, ia juga belajar di bawah bimbingan ibunya hingga bertemu kembali dengan Nabi Ibrahim.
Tak disebut secara eksplisit
Istilah air zamzam memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Namun, terdapat ayat yang bersinggungan erat dengan peristiwa kemunculan air zamzam, yakni kisah Siti Hajar dan Ismail yang dipindahkan oleh Nabi Ibrahim ke sebuah gurun pasir yang sekarang dikenal sebagai Kota Mekkah.
Kisah ini tertuang dalam surah Ibrahim [14] ayat 37 yang berbunyi:
رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ ٣٧
“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, mengatakan surah Ibrahim [14] ayat 37 ini merupakan doa Nabi Ibrahim as kepada Allah SWT agar melimpahkan anugerah dan kesejahteraan bagi anak istrinya, yakni Nabi Ismail dan Siti Hajar yang telah ia kirim ke suatu lembah pasir nun gersang dekat Baitullah (Kota Mekkah).
Hal ini ia lakukan agar keduanya dapat melaksanakan sholat secara bersinambung lagi baik dan sempurna.
Pandangan serupa disampaikan oleh as-Sa’adi dalam Tafsir as-Sa’adi. Menurutnya, ayat ini dilantunkan oleh Nabi Ibrahim manakala beliau membawa anak istrinya, Ismail dan Siti Hajar, ke Kota Mekkah yang masih dalam keadaan tandus (tidak layak ditanami tumbuhan) dan tidak berpenghuni.
Dalam doa tersebut, Nabi Ibrahim berharap kepada Allah taala agar kebutuhan keduanya terpenuhi, terutama Nabi Ismail yang masih dalam usia balita. (*)
Editor : Syahrir Rasyid