HIKMAH JUMAT : Hadiah Bagi Penjaga Amanah

Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
BERIKUT ini adalah kisah nyata yang dialami oleh seorang Teolog Islam yang bernama Abu Al Wafa’ Ali bin Aqil bin Muhammad Al Baghdadi Al Hambali atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Aqil. Beliau lahir di Baghdad tahun 432 H/1040 M dan wafat pada tahun 513 H/1119 M.
Ketika Ibnu Aqil menunaikan ibadah haji, beliau menemukan sebuah kalung mutiara dengan tali berwarna merah. Sebuah kalung yang sangat indah, dan menarik hati untuk dapat memilikinya.
Tak lama setelah itu, ada seorang laki-laki yang mengumumkan bahwa dia kehilangan kalung mutiara. Laki-laki itu mengatakan bahwa bagi siapa saja yang menemukan kalung tersebut, dia akan memberikan hadiah berupa uang sebanyak seratus dinar.
Tanpa berpikir panjang, Ibnu Aqil langsung mendatangi laki-laki itu. Beliau langsung menyerahkan kalung temuannya. Laki-laki itu pun berkata: “Ambillah dinar ini.” Namun, Ibnu Aqil menolaknya.
Setelah musim haji selesai, Ibnu Aqil pergi bershafar ke Syam, mengunjungi Baitul Maqdis dan lanjut ke Baghdad serta Halb (Kota Aleppo sekarang). Beliau bermalam di sebuah masjid di Halb.
Malam itu beliau merasa sangat kedinginan dan kelaparan. Kebetulan malam itu juga malam pertama di bulan Ramadhan, sekaligus Ramadhan pertama bagi Ibnu Aqil di Halb.
Di luar dugaan Ibnu Aqil, ternyata tiba-tiba penduduk di kota tersebut menunjuknya untuk menjadi imam masjid. Beliau diminta menggantikan imam masjid sebelumnya yang baru saja meninggal.
Penduduk kota Halb sangat memuliakan Ibnu Aqil dan memberikan banyak makanan. Lalu, di antara penduduk kota Halb ada yang berkata:
“Imam masjid kami yang baru saja meninggal, memiliki seorang anak perempuan”.
Akhirnya, Ibnu Aqil dinikahkan dengan anak sang imam masjid.
Setelah menikah satu tahun, istri Ibnu Aqil melahirkan anak pertama. Namun, setelah melahirkan, sang istri mengalami sakit parah. Ibnu Aqil merawatnya dan memperhatikannya dengan seksama.
Di saat itulah, Ibnu Aqil melihat istrinya mengenakan sebuah kalung yang sangat beliau kenal. Ibnu Aqil kemudian berbicara kepada istrinya:
“Istriku, sepertinya aku sangat mengenal kalung yang engkau pakai ini.”
“Kalung ini seperti kalung mutiara yang pernah aku temukan saat musim haji beberapa tahun lalu.” lanjut Ibnu Aqil.
Kemudian, beliau menceritakan kisah lengkapnya itu kepada istrinya. Mendengar kisah itu, sang istri pun menitikkan air mata. Kemudian dia berkata:
“Rupanya engkaulah orangnya, wahai suamiku.” kata sang istri.
Lalu sang istri bercerita bahwa ayahnya pernah menangis dan berdo’a:
“Ya Allah, jodohkanlah putriku dengan seseorang seperti orang yang menemukan kalung dan mengembalikannya kepadaku.”
“Allah telah mengabulkan permohonan ayahku.” kata sang istri.
Tak lama setelah mengucapkan kalimat itu, kemudian istri Ibnu Aqil meninggal dunia.
Sepeninggalan istrinya itu, maka kalung tersebut menjadi milik Ibnu Aqil sebagai salah seorang ahli warisnya. Selanjutnya, Ibnu Aqil pun kembali ke kota Baghdad.
Begitulah kisah Ibnu Aqil yang dengan kejujurannya, beliau mengembalikan kalung mutiara temuannya kepada sang pemilik kalung tersebut dan tidak mau menerima imbalan apapun. Padahal bisa saja saat itu beliau menyembunyikan kalung temuan tersebut dan menjadi miliknya.
Namun sebagai orang ‘alim, beliau faham betul, bahwa jika hal tersebut beliau lakukan, maka status kepemilikan kalung tersebut adalah haram. Karena sikap menjaga amanahnya itulah, kemudian Allah jadikan kalung tersebut sebagai milik Ibnu Aqil dengan cara yang halal.
Dalam Islam, amanah setidaknya mengandung tiga unsur yaitu menjaga diri dari sesuatu yang bukan haknya, menunaikan kewajiban yang menjadi hak orang lain, dan adanya perhatian penuh untuk menjaga sesuatu yang dititipkan kepadanya dengan tidak menyia-nyiakannya, melalaikannya, apalagi menguranginya.
Dengan kata lain, di dalam amanah terdapat unsur kejujuran, terpercaya, tidak khianat, tidak menipu, dan tidak bersikap curang. Saking beratnya amanah ini, maka wajarlah jika Bilal bin Rabbah pernah melarikan diri saat mendengar dirinya akan diangkat menjadi Gubernur Yaman oleh Khalifah Umar bin Khatab.
Tidak ada sesuatu yang berat di dalam syariat Islam, selain juga tersedia hadiah yang sangat luar biasa bagi siapa saja yang mampu melakukannya. Demikian juga dengan amanah, maka bagi para penjaga amanah, Allah dan Rasul-Nya telah menyediakan hadiah berupa keistimewaan baginya.
Keistimewaan tersebut di antaranya:
Penjaga amanah terbebas dari sifat munafik.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
“Empat hal, barang siapa dalam dirinya ada empat hal tersebut, maka dia adalah munafik tulen, dan barang siapa yang ada sebagian dari sifat itu, maka ada sebagian sifat nifak dalam dirinya hingga dia meninggalkannya. Yaitu: jika dipercaya khianat, jika berbicara bohong, jika berjanji ingkar, dan jika berseteru (bermusuhan) dia jahat.”
Penjaga amanah adalah orang yang mampu membuktikan keimanannya.
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janji." (HR. Ahmad).
Penjaga amanah memiliki sifat para Nabi dan Rasul.
Dalam banyak ayat, Allah SWT menjelaskan bahwa para Nabi dan Rasul adalah orang-orang yang amanah. Salah satu ayat tersebut adalah dalam Al-Qur’an surat Asy-Syuara ayat 107, Allah SWT menjelaskan tentang Nabi Nuh yang mengatakan kepada umatnya: “Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu.”
Sayyid Quthub menafsirkan kata amiin (kepercayaan) dengan tidak khianat, tidak menipu, tidak berbuat curang, dan tidak menambah atau mengurangi sedikitpun ajaran yang diperintahkan Allah untuk disampaikan.
Penjaga amanah adalah calon penghuni Surga Firdaus.
Allah SWT berfirman: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang yang menunaikan zakat, dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya, serta orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi (Surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Mu’minun: 1 – 11)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid