Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
DALAM beberapa hari ini kita disuguhi informasi tentang pembunuhan yang patut diduga dilakukan oleh seorang oknum polisi beserta dengan teman-temannya. Tidak hanya membunuh, tapi mereka juga diduga melakukan penghilangan barang bukti, merekayasa proses dan hasil pemeriksaan, hingga penyebaran berita palsu.
Tak tanggung-tanggung, oknum polisi tersebut berpangkat Inspektur Jenderal Polisi (Irjen. Pol). Seorang polisi dengan pangkat tersebut menyandang dua bintang emas di bahunya. Jabatannya pun tidak kalah mentereng sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv. Propam) Polri.
Belum habis suguhan informasi tersebut, datang lagi suguhan informasi yang tak kalah membuat kita geleng-geleng kepala. Informasi tersebut datang dari dunia pendidikan.
Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap oknum dosen yang menerima suap dalam proses penerimaan mahasiswa baru sebuah perguruan tinggi negeri di Lampung. Sang oknum dosen tersebut terjaring OTT bersama dengan tiga orang temannya.
Tak tanggung-tanggung, jabatan akademik dari oknum dosen tersebut adalah guru besar alias profesor. Profesor adalah jabatan akademik tertinggi bagi seorang dosen yang tidak dapat diraih dengan mudah.
Tidak hanya jabatan akademiknya yang tertinggi, namun jabatan strukturalnya pun tertinggi dalam karir struktural seorang dosen di sebuah universitas, yakni Rektor.
Pertanyaannya adalah mengapa peristiwa-peristiwa di atas terjadi dan pelaku-pelakunya bukan masyarakat biasa?
Mereka berpendidikan tinggi, berpangkat tinggi, memiliki jabatan juga tinggi, bahkan memiliki fasilitas dan kekayaan yang tidak dimiliki oleh masyarakat kebanyakan.
Mereka harusnya menjadi contoh, tauladan, dan panutan bagi banyak orang. Mengapa mereka bisa berbuat seperti itu? Kurang apa lagi dan apa masalahnya?
Editor : Syahrir Rasyid