get app
inews
Aa Text
Read Next : Warga Minta Ganti Rugi, Pintu Gerbang SMAN 8 Tangerang Selatan Ditutup

Awas! Hak Waris Banci Bisa Gugur, Ini Dasar Hukumnya

Senin, 26 September 2022 | 14:26 WIB
header img
Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima harta waris sesuai bagiannya. Foto/Ilustrasi: Ist

JAKARTA, iNewsSerpong.id - Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima harta waris sesuai bagiannya. Lalu, bagaimana dengan banci , juga yang berkelamin ganda, atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali?

Muhammad Ali ash-Shabuni dalam buku berjudul "Pembagian Waris Menurut Islam" mengatakan adanya dua jenis kelamin pada seseorang --atau bahkan sama sekali tidak ada-- -disebut sebagai musykil.

 

"Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang air kecil," katanya.

"Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita."

Hanya saja, katanya lagi, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh.

Di samping melalui cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan badannya, atau mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagai pembeda antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia bermimpi dewasa, apakah ia tumbuh kumis, apakah tumbuh payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan sebagainya. "Bila tanda-tanda tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil," katanya.

Dikisahkan bahwa Amir bin adz-Dzarb dikenal sebagai seorang yang bijak pada masa jahiliyah. Suatu ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita melahirkan anak dengan dua jenis kelamin. Amir kemudian memvonisnya sebagai laki-laki dan perempuan.

Mendengar jawaban yang kurang memuaskan itu orang-orang Arab meninggalkannya, dan tidak menerima vonis tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena memikirkannya.

Melihat sang majikan gelisah, budak wanita yang dimiliki Amir dan dikenal sangat cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan persoalan tersebut kepada budaknya, dan budak wanita itu berkata: "Cabutlah keputusan tadi, dan vonislah dengan cara melihat dari mana keluar air seninya."

Amir merasa puas dengan gagasan tersebut. Maka dengan segera ia menemui kaumnya untuk mengganti vonis yang telah dijatuhkannya. Ia berkata: "Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya air seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi bila keluar dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan." Ternyata vonis ini diterima secara aklamasi.

Ketika Islam datang, dikukuhkanlah vonis tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW ketika ditanya tentang hak waris seseorang yang dalam keadaan demikian, maka beliau menjawab dengan sabdanya: "Lihatlah dari tempat keluarnya air seni."

Lalu, bagaimana dengan hak waris banci? Muhammad Ali ash-Shabuni menjelaskan ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada banci musykil ini.

1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris banci adalah yang paling (lebih) sedikit bagiannya di antara keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Dan ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafi'i serta pendapat mayoritas sahabat.

2. Mazhab Maliki berpendapat, pemberian hak waris kepada para banci hendaklah tengah-tengah di antara kedua bagiannya. Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudian disatukan dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian banci.

3. Mazhab Syafi'i berpendapat, bagian setiap ahli waris dan banci diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap paling rajih (kuat) di kalangan mazhab Syafi'i.

Muhammad Ali ash-Shabuni mengatakan hak waris yang diberikan kepada banci hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya --keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita.

Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya.

Makna pemberian hak banci dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqaha mawarits mu'amalah bil adhar-- yaitu jika banci dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita; dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di antara kedua status harus ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak mendapatkan hak waris.

Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak warisnya.

Definisi Banci
Pengertian al-khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa berarti 'lunak' atau 'melunak'. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan melenggak-lenggok. Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki."

Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali.

Keadaan yang kedua ini menurut para fuqaha dinamakan khuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin perempuan. (*)

Editor : Syahrir Rasyid

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut