JAKARTA, iNewsSerpong.id - Suami-istri hendaknya memahami hukum perceraian dalam Islam , syarat sah, aturan, dan dalil yang mengikutinya agar solusi talak bagi keduanya tetap dalam koridor hukum yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Orang yang memperhatikan hukum-hukum yang berhubungan dengan talak , ia akan paham bahwa sebenarnya Islam sangatlah menginginkan terjaganya keutuhan rumah tangga dan keabadian jalinan kasih antara suami isteri.
Sebagai bukti akan hal itu, bahwa Islam tidak menjadikan talak hanya satu kali, di mana tatkala perceraian telah dilakukan, maka tidak ada lagi hubungan antara suami isteri serta tidak boleh bagi keduanya untuk menyambung kembali. Akan tetapi dalam syari’at dibolehkannya talak, Islam telah menjadikannya lebih dari satu kali.
Hukum talak atau cerai adalah boleh dengan beberapa kaidah yang mengaturnya. Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwaijri, dalam kitab Mukhtasar Al Fiqh Al Islami, talak adalah melepaskani ikatan tali pernikahan dengan perkataan yang jelas dari suami.
Dalil dibolehkannya talak terdapat dalam Al Qur'an dan hadis Nabi Shallalahu 'Alaihi wa Sallam. AllahTa’alaberfirman :
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
Allah juga berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umarradhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottobradhiyallahu ‘anhumenanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallamlantas bersabda :
“Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al ‘iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah ‘azza wajalla.” (HR. Bukhari)
Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam Al Mughni menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibrohjuga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat.
Editor : Syahrir Rasyid