JAKARTA, iNewsSerpong.id - Sebuah kisah menarik termakhtub dalam kitab an-Nawadir karya Syekh Syihabuddin Ahmad bin Salamah Al Mishri Al Qalyubi asy-Syafi’i. Kisah ini menceritakan pertemuan iblis dan Fir’aun . Dua makhluk Allah yang dikenal sebagai sosok yang hina karena selalu melakukan hal-hal tercela.
Mereka pun asyik terlibat dalam percakapan.
“Apakah kamu mengenaliku?” tanya si iblis saat datang menemui Fir’aun .
“Ya,” jawab Fir’aun.
“Kau telah mengalahkanku dalam satu hal,” kata si iblis.
“Apa itu?” tanya Fir’aun keheranan. Dengan sifatnya yang sombong tentu ia tak ingin dikalahkan oleh siapapun.
“Kelancanganmu mengaku sebagai tuhan. Sungguh, aku lebih tua darimu, juga lebih berpengetahuan dan lebih kuat ketimbang darimu. Tapi aku tidak berani melakukannya,” kata si iblis .
“Kau benar. Namun, nanti aku akan bertaubat,” kata Fir’aun dengan percaya diri.
“Jangan terburu-buru,” sanggah si iblis.
“Penduduk Mesir akan menerimamu sebagai tuhan. Jika kau berubat, mereka akan meninggalkanmu, merangkul musuh-musuhmu, dan menghancurkan kekuasanmu, hingga kau tersungkur dalam kehinaan,” bujuk iblis.
Tentu ia tak ingin Fir’an kembali ke jalan yang benar. Akan lebih baik baginya bila Fir’aun tetap kufur dan menemaninya di nereka kelak. “Kau benar. Namun taukah kamu siapa di muka bumi ini yang lebih buruk dari kita berdua?” tanya Fir’aun.
“Ya, orang yang tidak mau menerima permintaan maaf orang lain. Dia lebih buruk dariku dan darimu,” jawab Fir’aun.
Hikmah dari kisah di atas, sungguh hina mereka yang enggan memaafkan orang lain. Saking buruknya bahkan hingga digambarkan sebagai sosok yang lebih buruk daripada iblis dan Fir’aun . Sementara memaafkan kesalahan orang lain memang dianjurkan oleh Rasulullah, baik ketika dirinya termasuk pihak yang salah maupun yang benar.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang didatangi saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada dipihak yang benar ataukah yang salah, apabila tidak melakukan hal tersebut (memaafkan), niscaya tidak akan mendatangi telagaku (di akhirat).” (HR Al Hakim).
Perkara memaafkan memanglah sulit. Seakan-akan kita harus memindahkan sebuah gunung dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karenya, mereka yang mampu memaafkan kesalahan orang lain dihadiahi ampunan Allah atas dosa-dosanya di dunia. “Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan." (HR ath-Thabrani).
Sebagai renungan bahwasanya Allah merupakan Dzat yang Maha Memaafkan. Allah bahkan menerima taubat seorang hamba dengan dosa paling berat sekalipun. Lantas, kita yang hanya seorang hamba harusnya mampu memaafkan dosa manusia lain yang mungkin belum tentu dinilai berat oleh Allah. (*)
Editor : Syahrir Rasyid