JAKARTA, iNews.serpong.id – Ada kesamaan penetapan awal Ramadhan antara Muhammadiyah dan NU, namun Idul Fitri berpotensi berbeda. Hal itu disampaikan peneliti Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN, Thomas Djamaluddin.
Dia mengatakan, kesamaan dan perbedaan tersebut berdasarkan kriteria Wujudul Hilal (WH) yang digunakan Muhammadiyah serta Imkan Rukyat (visibilitas hilal) yang digunakan oleh NU serta beberapa ormas lain. Dia menjelaskan, pada saat maghrib 22 Maret 2023, di Indonesia posisi bulan sudah memenuhi kriteria baru MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) dengan tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat (3-6,4).
Posisi tersebut juga memenuhi kriteria Wujudul Hilal. “Jadi seragam versi MABIMS (3-6,4) dan WH bahwa 1 Ramadhan 1444 pada 23 Maret 2023,” ucapnya.
Di sisi lain, Thomas menyebut adanya potensi perbedaan terkait Idul Fitri 1444 H. Hal itu disebabkan pada saat maghrib 20 April 2023, ada potensi di Indonesia posisi bulan belum memenuhi kriteria baru MABIMS, tidak tercapainya tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat (3-6,4). Namun, posisi itu sudah memenuhi kriteria WH. “Jadi ada potensi perbedaan: versi MABIMS (3-6,4) 1 Syawal 1444 pada 22 April 2023, tetapi versi WH 1 Syawal 1444 pada 21 April 2023,” ucapnya.
Dia berpendapat, sebab utama terjadinya perbedaan penentuan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha yang terus berulang karena belum disepakatinya kriteria awal bulan Hijriyah. Prasyarat utama untuk terwujudnya unifikasi kalender hijriyah, harus ada otoritas tunggal. Otoritas tunggal akan menentukan kriteria dan batas tanggalnya yang dapat diikuti bersama. (*)
Editor : Burhan