HIKMAH JUMAT : Anak, Antara Nikmat dan Ujian
![header img](https://img.inews.co.id/media/600/files/networks/2023/05/12/d8a80_anak-adalah-amanah.jpeg)
PENULIS : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
BANYAK PASANGAN yang telah lama berumah tangga namun belum dikaruniai keturunan. Sebaliknya, sering juga kita melihat dan mendengar berita, ada orang yang tega membunuh anaknya yang tak berdosa akibat “hubungan gelap” yang dilakukannya. Na’udzubillahi min dzalik.
Anak sejatinya adalah anugerah dari Allah SWT bagi kedua orang tuanya. Anak adalah amanah, perhiasan sekaligus kebanggaan bagi kedua orang tua dan keluarganya. Anak yang seperti ini adalah sumber kenikmatan bagi kedua orang tua dan keluarganya.
Namun demikian, ada juga anak yang menjadi sumber ujian bahkan musuh bagi kedua orang tuanya. Gara-gara kelakuan anak, orang tua dan keluarga terkena imbasnya. Celakanya lagi, harta orang tuanya ikut ditelusuri walaupun tidak ada hubungan langsung dengan kelakuan anak tersebut.
Kapan seorang anak dapat menjadi nikmat atau ujian bagi kedua orang tuanya? Allah SWT menjelaskan hal itu di dalam Al-Qur’an dengan menyebutkan istilah anak sebagai penyenang hati, perhiasan dunia, fitnah, dan musuh.
Anak Sebagai Penyenang Hati
Tipikal anak yang pertama ini adalah tipikal anak yang menjadi dambaan bagi setiap orang tua. Setiap orang tua senantiasa berharap kepada Allah SWT agar anaknya menjadi penyenang hatinya. Harapan tersebut tertuang di dalam do’a yang diajarkan langsung oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan [25]: 74).
Untuk menjadikan anak sebagai penyenang hati tentulah memerlukan perjuangan tersendiri. Anak yang bertipikal sebagai penyenang hati tidak lahir begitu saja, namun perlu asuhan, pendidikan, dan pembinaan yang luar biasa yang dilakukan orang tuanya.
Anak bertipikal sebagai penyenang hati yang terlahir dari proses seperti diuraikan di atas, akan memiliki karakter mulia seperti taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berbakti kepada orang tuanya, saleh, dan bermanfaat bagi lingkungannya.
Dengan berbekal karakter-karakter mulia, anak tersebut terus tumbuh dan dewasa dengan membawa karakter mulianya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, menjadi tidak berlebihan jika kelak, anak tersebut tumbuh menjadi pemimpin bagi orang bertakwa.
Anak Sebagai Perhiasan Dunia
Tipikal yang kedua ini anak diposisikan sebagai perhiasan atau laksana harta kekayaan di dunia yang dimiliki orang tua. Layaknya perhiasan atau harta kekayaan, maka orang tua akan berusaha untuk memelihara, menjaga, merawat, bahkan menyayanginya.
Namun demikian, Allah SWT memperingatkan orang tua yang menganggap anaknya sebagai perhiasan agar tidak lupa dan berlebihan dalam memberikan perhatian, sehingga lupa terhadap amalan lain yang lebih utama dari harta dan perhiasan dunia. Firman Allah SWT yang artinya:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi [18]: 46).
Rasa cinta orang tua terhadap anak-anaknya juga perhiasan dunia lainnya adalah sunatullah yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran [3] ayat 14 yang artinya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Namun, rasa cinta yang berlebihan dari orang tua kepada anaknya dikhawatirkan justru merusak masa depan anak itu sendiri. Anak tidak tumbuh dan dewasa sebagaimana yang diharapkan, justru semakin besar anak tersebut malah semakin durhaka.
Allah SWT memperingatkan agar para orang tua tidak lalai kepada Allah disebabkan sibuk memperhatikan anaknya, melalui firman-Nya yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun [63]: 9).
Anak Sebagai Fitnah
Tipikal anak sebagai fitnah atau ujian tentu bukanlah tipikal yang diharapkan oleh orang tua maupun keluarga. Anak menjadi sumber masalah baik di keluarga maupun lingkungannya. Allah SWT berfirman yang artinya: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah / ujian (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun [64]: 15).
Akhir-akhir ini kita dipertontonkan dengan perilaku dari sebagian anak pejabat negeri kita yang tidak patut ditiru oleh anak siapa pun. Dalam konteks anak sebagai sumber fitnah, bisa jadi ini adalah potret yang tepat untuk dijadikan sebagai sumber pembelajaran bagi kita semua.
Namun demikian perlu disadari pula bahwa ada penyebabnya sehingga anak bisa berperilaku seperti itu. Bisa jadi karena kurangnya asuhan, didikan, bimbingan, perhatian, dan pengawasan dari orang tuanya yang terlalu sibuk dengan pekerjaan atau urusan lainnya.
Selain itu, bisa jadi pula karena adanya makanan yang bersumber dari uang haram dari orang tuanya. Karena makanan dan minuman yang bersumber dari uang haram, akan berdampak buruk terhadap tumbuh kembang seorang anak.
Baginda Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Wahai Ka’ab bin Ujrah, sesungguhnya tidaklah tumbuh setiap daging yang diberikan asupan makanan yang haram melainkan nerakalah yang berhak membakarnya.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).
Anak Sebagai Musuh
Tipikal yang terakhir adalah anak sebagai musuh. Banyak anak dan pasangan kita yang justru menghalang-halangi kita dari jalan Allah. Mereka menentang dan merintangi kita dari taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri (pasangan)-mu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun [64]: 14).
Makna musuh pada ayat di atas juga ditafsirkan oleh sebagian mufasir bahwa anak dan pasangan kita atau bahkan karib kerabat kita yang lainnya, nanti pada hari kiamat bisa jadi saling bermusuhan. Anak menggugat orang tuanya, istri menggugat suaminya, atau sebaliknya.
Saling gugat itu terjadi karena selama hidup di dunia banyak hak dan kewajiban yang terabaikan. Oleh karenanya, selama kesempatan itu masih ada, sikap dan tindakan saling memperhatikan di dalam keluarga hendaknya dilakukan terutama dalam hal-hal yang bersifat ibadah dan kebaikan lainnya. (*)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid