Oleh Dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA
Dunia hiburan Indonesia kembali berduka dengan meninggalnya Bunda Dorce. Banyak media sosial yang memberitakan seputar meninggalnya beliau. Hal yang menarik perhatian saya dari semua pemberitaan yang beredar adalah bagaimana bunda mempersiapkan kepergiannya.
Di salah satu infotainment, bunda pernah mengatakan kalau beliau sudah menyiapkan kain kafannya sendiri, ingin disembahyangkan di masjid yang beliau bangun di bilangan Jakarta Timur, dan bahkan ingin dimakamkan sebagai seorang perempuan di tanah sebelah rumahnya. Hal yang terakhir ini sempat menimbulkan polemik, namun bersyukur semua dapat diatasi melalui musyawarah dengan keluarga.
Memperhatikan apa yang Bunda Dorce lakukan sebelum meninggalkan dunia ini, saya jadi ingat apa yang diucapkan oleh seorang bangsawan Inggris yang bernama Sir Francis Bacon. Ia mengatakan, “Mengapa kita tidak boleh mempersiapkan kematian seperti layaknya ketika orangtua mempersiapkan kelahiran kita ke dunia?”
Harus diakui, sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap tabu membicarakan tentang kematian. Masih ada anggapan bahwa kalau kita membahas masalah kematian seseorang, itu seolah kita mengharapkan orang yang dimaksud cepat mati.
Melalui peristiwa berpulangnya Bunda Dorce ke pangkuan Tuhan Sang Pencipta, saya ingin mengajak seluruh masyarakat Indonesia belajar tentang apa yang namanya paliatif. Tanpa disadari, apa yang bunda lakukan sebelum ajalnya tiba sebenarnya adalah bagian dari paliatif itu sendiri.
Secara sederhana, paliatif mengajarkan tentang tata laksana gejala dan tata laksana akhir kehidupan. Khusus tentang tata laksana akhir kehidupan, prinsip sederhana yang diajarkan adalah bagaimana caranya kita bisa mempersiapkan seseorang untuk meninggalkan dunia ini secara bermartabat. Bermartabat yang dimaksud di sini adalah orang tersebut tidak meninggal dalam keadaan menderita.
Hal ini dapat terlihat dari keputusan yang diambil oleh keluarga besar bunda ketika beliau memasuki masa kritis. Berdasarkan penuturan salah satu sahabat bunda di media sosial, saat kondisi bunda mengalami penurunan, dokter memberi 2 pilihan, apakah keluarga menginginkan agar bunda diberi alat bantu napas atau hanya dengan obat-obatan. Setelah keluarga berunding, akhirnya diputuskan untuk melanjutkan penanganan bunda dengan obat-obatan saja. Keluarga tidak ingin bunda makin menderita dengan dipasangnya alat bantu napas.
Ketika seorang anggota keluarga mengalami penyakit kronis yang tergolong berat dan kondisinya semakin kritis (contohnya seperti Bunda Dorce), harus diakui bahwa masih banyak keluarga yang menganggap dengan memasukkannya ke ruang rawat intensif agar memperoleh bantuan berupa alat bantu napas adalah solusi yang terbaik. Benarkah demikian?
Sadarkah bahwa nanti di ruang rawat intensif beliau akan seorang diri, tidak bisa berada di tengah-tengah sanak keluarga yang menyayanginya. Belum lagi pemasangan alat bantu napas yang amat sangat tidak nyaman.
Seorang pakar paliatif asal Selandia Baru mengatakan, ada 2 hal yang diinginkan oleh seseorang menjelang akhir hidupnya, yaitu Tuhan dan keluarganya. Pada kasus bunda, karena infeksi COVID-19, beliau tidak bisa berada di tengah-tengah keluarga dan teman-teman yang mencintainya. Walaupun demikian, saya yakin bunda selalu ada di hati dari orang-orang yang menyayanginya dan mereka akan selalu mendoakan yang terbaik buat bunda di masa-masa kritis tersebut.
Mengacu pada hal ini, saya bersyukur keluarga mengambil keputusan yang bijaksana sehingga bunda dapat meninggalkan dunia ini dengan tidak menderita. Apa lagi dilengkapi dengan persiapan yang sudah bunda lakukan dan titipkan pada keluarga untuk dilaksanakan.
Di tayangan-tayangan televisi dapat terlihat, beberapa hal yang sudah dipersiapkan akhirnya tidak dapat dipenuhi sesuai dengan permintaan beliau karena COVID-19. Sekalipun demikian, masyarakat tetap masih dapat melihat dan meyakini kalau Bunda Dorce pergi meninggalkan kita dalam keadaan tenang dan bahagia. (*)
Editor : Burhan