"Apakah tidak bisa membalas serangan itu, Ayah?" tanya penulis. "Tidak bisa, nak, karena Fretilin sudah menyebar ke mana-mana, mengepung ayah. Suara desing peluru itu terus menghujani lokasi ayah berlindung. Ayah tetap tiarap sepanjang malam hingga pagi menjelang. Yang ayah tahu saat itu adalah malam takbir," ujarnya mengisahkan kembali.
"Jadi Ayah tidak bisa membalas tembakan mereka?" tanya penulis lagi. "Tidak bisa, nak, ayah hanya memegang senjata api jenis revolver, sedangkan mereka pemberontak yang ayah ketahui menggunakan senjata serbu AK-47 buatan Uni Soviet," jawabnya.
"Jadi Ayah tiarap dan berlindung saja tanpa melakukan tembakan balasan?" "Iya nak, sejak mendapat serangan di malam takbiran hingga pagi hari ayah hanya tiarap. Ayah sudah pasrahkan semuanya saat itu kepada Allah Ta'ala."
Pada pagi harinya, setelah mulai terang, unit pasukan penolong datang menggunakan helikopter, membantu dan membalas menyerang pemberontak dengan ratusan butir peluru tajam. Tak butuh waktu lama, pemberontak kocar-kacir. Balasan tembakan dari pemberontak pun tak ada lagi. Situasi pun menjadi tenang dan semua selamat.
Kisah ini bukan hanya tentang keberanian dan keteguhan hati seorang prajurit TNI, tetapi juga tentang pengorbanan dan dedikasi yang luar biasa.
Malam takbir yang penuh desing peluru menjadi simbol pengorbanan para prajurit Indonesia yang bertugas di medan perang, menunjukkan bahwa mereka siap mengorbankan segalanya demi menjaga keamanan dan kedaulatan negara. Kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya perdamaian dan penghargaan terhadap mereka yang berjuang di garis depan.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta