get app
inews
Aa Text
Read Next : PDIP Minta KPU tak Buru-buru Tetapkan Prabowo-Gibran, Gugatan PDIP kepada KPU Masih Berjalan di PTUN

Pemberhentian Komisioner KTKI Secara Mendadak Picu Polemik dan Tuntutan Keadilan

Jum'at, 30 Mei 2025 | 10:30 WIB
header img
Keputusan mendadak terkait pemberhentian Komisioner Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) menuai kritik tajam. Foto: Ist

JAKARTA, iNewsSerpong.id – Keputusan mendadak terkait pemberhentian Komisioner Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) menuai kritik tajam. Kuasa hukum KTKI, Yuherman, bersama salah satu komisioner yang terdampak, Rachma Fitriati, menyebut kebijakan ini melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), hak asasi manusia (HAM), serta mengabaikan asas kepastian hukum.

Polemik ini bermula dari terbitnya Keputusan Presiden Nomor 69/M Tahun 2024. Keputusan ini secara tiba-tiba mengakhiri masa jabatan para komisioner, hanya delapan hari setelah diumumkannya seleksi calon pimpinan lembaga pengganti, Konsil Kesehatan Indonesia. Padahal, pembentukan Lembaga Non Struktural lainnya memerlukan proses hingga enam bulan karena melibatkan pengangkatan Pejabat Negara.

"Sebagian dari kami terpaksa berpindah profesi secara mendadak. Bahkan ada yang kini menjadi pengemudi daring. Ini menyakitkan," kata Rachma Fitriati, Komisioner KTKI, dalam pernyataannya, Senin (26/5/2025).

Rachma menilai, pemberhentian ini dilakukan tanpa proses yang transparan dan akuntabel. Ia menegaskan, berdasarkan Pasal 450 Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, lembaga seperti KTKI masih memiliki wewenang dan tugas hingga struktur baru terbentuk secara sah. "Pasal itu menjamin keberlanjutan tugas kami. Tapi yang terjadi justru pemecatan mendadak dan secara sepihak," ujarnya.

Rachma juga menyoroti kejanggalan pada Sekretariat KTKI yang kini menjadi Dirjen Nakes, di mana tidak ada masa transisi sesuai arahan Kemensesneg. "Logikanya, tidak mungkin, Kemensesneg memiliki kewenangan di atas UU Nomor 17/2023 Pasal 450 yang jelas-jelas menuliskan masa transisi sampai terbentuknya Konsil baru," tegas Rachma.

Ia menambahkan, Konsil baru belum terbentuk, namun PMK 12/2024 Pasal 50 sudah memberhentikan fungsi, tugas, dan wewenang KTKI, menunjukkan adanya cacat hukum karena PMK tersebut melampaui UU No. 17/2023 Pasal 450.

Senada dengan Rachma, kuasa hukum KTKI, Yuherman, dalam sidang terbuka perkara 7/G/2025 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, menyatakan bahwa pemutusan jabatan sebelum masa tugas berakhir tanpa alasan hukum yang sah adalah pelanggaran prinsip keadilan dan perlindungan hukum.

"Dalam sistem hukum yang menetapkan masa jabatan dengan periodisasi tertentu, pemutusan sebelum waktunya hanya bisa dilakukan dengan alasan sah yang ditentukan oleh hukum. Jika tidak, maka keputusan tersebut cacat hukum," tegas Yuherman di hadapan majelis hakim.

Ia menambahkan, lembaga dan pejabat adalah dua entitas berbeda. Oleh karena itu, aturan peralihan tidak hanya harus mengatur struktur kelembagaan, tetapi juga nasib pejabat yang masih memiliki masa jabatan aktif.

"Setiap keputusan TUN harus mengacu pada prinsip kepastian hukum dan perlindungan hak, termasuk hak ekonomi dan sipil yang melekat pada jabatan yang diangkat secara sah melalui SK Presiden," jelas Yuherman.

Saksi Ahli sidang perkara 7/G/2025/PTUN.JKT dari Universitas Andalas, Khairul Fahmi, menegaskan perlunya evaluasi dari Presiden. Menurutnya, ada kelemahan substansial secara hukum yang telah merugikan. "Seharusnya ini ditinjau ulang, dicabut KEPRES tentang pengangkatan itu," ujarnya.

Khairul Fahmi mengingatkan pentingnya memperjelas aturan peralihan untuk menghindari kekosongan hukum dan memberikan kepastian serta rasa keadilan bagi mereka yang terdampak. "Tidak boleh peralihan norma itu kemudian menyebabkan orang dirugikan tapi tidak ada jalan keluar atas peralihan itu. Karena ini sumber masalahnya adalah ketiadaan dasar hukum pemberhentian dari apa dari pejabat KTKI, maka dasar hukumnya itu harus diperbaiki dulu," jelas panelis Debat Capres-Cawapres 2024 ini.

Ia mencontohkan, "misalnya PP ya, sudah mungkin diubah aja PP-nya. Yang pasti jangan kemudian diubah itu untuk membenarkan apa yang sudah ada. Tapi adalah satu memuat tentang kepastian masa jabatan itu, kemudian kalau akan dilakukan pemotongan masa jabatan itu, maka mesti ada kepastian juga terhadap nasib dari orang-orang yang selama ini menjabat dan mengabdi di KTKI," kata dia.

Rachma menekankan bahwa perjuangan ini lebih dari sekadar mempertahankan jabatan. Ini adalah tentang penghormatan terhadap konstitusi, profesionalisme, dan hak perempuan dalam tata kelola pemerintahan.

"Negara boleh berubah, struktur boleh direvisi, tapi keadilan tidak boleh dikorbankan. Kami hanya meminta hak kami dikembalikan secara bermartabat dan sesuai hukum," pungkasnya.

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut