Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
“DUHAI Allah berkahi kami di bulan Rajab dan bulan Sya’ban, dan sampaikan usia kami ke bulan Ramadhan”. Demikianlah sebagian do’a yang banyak dipanjatkan oleh ummat Islam semenjak awal bulan Rajab sampai akhir Sya’ban.
Bulan yang dinanti pun sebentar lagi akan datang. Dalam hitungan jam saja, in syaa Allah bulan Ramadhan akan segera kita masuki bersama-sama.
Bergembira dan berbahagialah kita, jika kita masih diberikan kesempatan untuk hidup di bulan suci Ramadhan. Bulan dimana kita dapat mendulang pahala dan meraih maghfirah dari Allah SWT.
Untuk medapatkan keistimewaan bulan Ramadhan, tentu tidak bisa diraih dengan santai dan ibadah alakadarnya. Keistimewaan bulan Ramadhan dapat diraih dengan melakukan kesungguhan dalam beribadah, yang dikenal dengan istilah jihad.
Jihad merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang salah satu maknanya adalah mengerahkan seluruh potensi diri untuk melakukan sesuatu, termasuk ibadah. Istilah jihad juga digunakan oleh Rasulullah SAW sebagai upaya pengendalian diri dan hawa nafsu. Jihad tidak selalu identik dengan perang.
Nah, di bulan Ramadhan ini sejatinya ada dua jihad yang wajib dilakukan oleh ummat Islam yang ingin meraih keistimewaan Ramadhan.
Dalam kitab Lathaiful Ma’arif, Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwasannya setiap mukmin ketika Ramadhan mengumpulkan dua jihad sekaligus malawan hawa nafsunya yaitu berjihad di siang hari dengan berpuasa dan berjihad di malam hari dengan Tarawih.
Maka barang siapa yang mengumpulkan dua amalan jihad ini, menunaikan haknya, dan bersabar dalam menjalaninya, maka dia akan meraih pahala penuh tanpa perhitungan.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah SAW bersabda: “Puasa dan Al Qur’an itu akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat nanti. Puasa akan berkata, “Wahai Tuhanku, saya telah menahannya dari makan dan nafsu syahwat, karenanya perkenankan aku untuk memberikan syafa’at kepadanya”.
Dan Al Qur’an pula berkata, “Saya telah melarangnya dari tidur pada malam hari, karenanya perkenankan aku untuk memberi syafa’at kepadanya.” Beliau bersabda,”Maka syafa’at keduanya diperkenankan.”
Berdasarkan hadits di atas, maka syafa’at dari ibadah puasa akan diterima oleh seseorang yang berjihad di siang hari yakni menahan diri dari berbagai hal yang membatalkan puasanya. Tidak semua orang mampu berjihad di siang hari untuk meraih kesempurnaan puasanya.
Syafa’at dari puasa akan otomatis diterima bagi seseorang yang berjihad meninggalkan berbagai hal yang haram, yang membatalkan, dan mengurangi keutamaan puasa. Bagi yang tidak mampu melakukan jihad seperti itu, maka syafa’at dari puasa tidak akan diterima oleh yang bersangkutan.
Editor : Syahrir Rasyid