5 Negara Sudah Blokir Game Roblox, Indonesia Kapan?
JAKARTA, iNewsSerpong.id -- Salah satu platform permainan daring paling populer adalah Game Roblox, namun telah mengalami pemblokiran di beberapa negara.
Pemblokiran ini memicu perdebatan antara kebebasan bermain dan perlindungan pengguna, khususnya anak-anak.
Di Indonesia, wacana pemblokiran sempat muncul setelah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyuarakan kekhawatiran terhadap konten kekerasan dan bahasa yang tidak pantas dalam game tersebut.
Ia menegaskan pentingnya melindungi anak-anak dari konten negatif.
Roblox, yang dirilis pada 2006 oleh Roblox Corporation, memungkinkan pengguna untuk membuat dan membagikan gim.
Namun, kebebasan ini membawa risiko munculnya konten yang tidak pantas dan interaksi berbahaya.
1. Uni Emirat Arab (UEA): Memblokir sejak 2018 karena konten yang dianggap tidak aman bagi anak-anak. Pengguna dapat mengakses melalui VPN.
2. Arab Saudi: Memblokir antara 2018-2019 untuk melindungi anak dari ujaran kebencian dan pelecehan, meskipun akses kini mulai dilonggarkan.
3. Yordania: Memblokir pada 2018 karena kekhawatiran keamanan anak di dunia maya, meskipun banyak gamer tetap menggunakan VPN.
4. Korea Utara: Memblokir hampir semua akses internet global, termasuk Roblox, untuk menjaga kontrol informasi.
5. Tiongkok (China): Meskipun meluncurkan versi lokal pada 2021, Roblox ditarik kembali pada 2022 diduga akibat regulasi ketat terhadap game online.
Pemblokiran memunculkan beragam dampak. Pemerintah berusaha melindungi anak-anak, tetapi banyak pemain merasa hak mereka untuk bermain dibatasi. Banyak gamer mencari cara untuk tetap bermain, seperti menggunakan VPN, yang dapat menambah risiko keamanan.
Langkah Pengembang Roblox
Roblox Corporation telah melakukan beberapa langkah, seperti:
Meski telah mengambil langkah-langkah ini, upaya tersebut tidak selalu cukup untuk memenuhi standar pemblokiran di tiap negara. Dengan adanya pemblokiran di UEA, Arab Saudi, Yordania, Korea Utara, dan Tiongkok, pro dan kontra mengenai Roblox menunjukkan betapa sulitnya menyeimbangkan kebebasan bermain dan perlindungan anak di era digital ini. (*)
Editor : Syahrir Rasyid