PENULIS : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah
BULAN Syawal adalah bulan yang identik dengan kegembiraan dan kebahagiaan bagi ummat Islam. Pada bulan Syawal ummat Islam merayakan Idul Fitri sebagai hari kemenangan setelah sebulan penuh berjuang untuk mengalahkan berbagai godaan yang dapat membatalkan puasa Ramadhan.
Dengan kemenangan tersebut, maka ummat Islam mendapatkan ampunan dan gelar muttaqin dari Allah SWT. Oleh karenanya, di balik kegembiraan dan kebahagiaan tersebut, sesungguhnya bulan Syawal menjadi ajang pembuktian ketaqwaan bagi ummat Islam.
Sejatinya bulan Syawal memiliki makna sebagai bulan peningkatan. Hal ini didasarkan kepada arti kata syawal secara bahasa, yaitu peningkatan; meningkat; atau terbit.
Para ulama memaknai bulan Syawal sebagai bulan dimana ummat Islam meningkatkan amal ibadahnya yang telah dilatih dan ditempa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Kuantitas dan kualitas amal ibadah ummat Islam sejatinya harus lebih meningkat lagi di bulan Syawal.
Adalah keliru jika ummat Islam beranggapan bahwa hanya di bulan Ramadhan waktu yang dapat digunakan untuk memaksimalkan ibadahnya. Pandangan yang tidak tepat pula jika hanya di bulan Ramadhan ummat Islam dapat menumpuk pahala sehingga setelahnya tidak perlu beribadah lagi.
Ramadhan adalah bulan latihan, dimana ummat Islam dilatih untuk membiasakan dan meaksimalkan ibadahnya, sedangkan bulan Syawal dan bulan-bulan lainnya adalah ajang pembuktiannya.
Dalam kitab Lathaiful Ma’arif karya Ibnu Rajab Al-Hambali halaman 313, Imam Bisyr bin Al-Harits Al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang bersungguh-sungguh dan rajin ibadahnya hanya di bulan Ramadhan. Beliau menjawab:
“Mereka adalah seburuk-buruk kaum, karena tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan. Sesungguhnya hamba yang shalih adalah yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh.”
Dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 92 Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan itu.”
Pada ayat di atas, Allah melarang kita berperilaku seperti seorang perempuan yang mengurai benang yang telah dipintalnya dengan kuat menjadi cerai berai kembali. Benang yang dipintal menjadi kain pun kemudian rusak, lepas satu per satu dan menjadi lembaran benang kembali.
Jika dikaitkan dengan bulan Ramadhan maka ayat ini memberikan gambaran bahwa selama bulan Ramadhan, banyak ummat Islam yang melatih dirinya dengan melaksanakan berbagai ibadah. Meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya.
Setiap jenis ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadhan diibaratkan sebagai lembaran benang berwarna warni, yang awalnya tercerai berai, lemah dan berpisah. Kemudian dirajut sedemikian rupa sehingga menjadi kain yang kokoh dan indah yang disebut dengan taqwa.
Itulah kain yang terbaik untuk dijadikan sebagai pakaian, yang dikenal dengan pakaian taqwa. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al-A’raf ayat 26:
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakain indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.”
Namun apa yang terjadi?
Setelah Ramadhan berlalu, perlahan-lahan kain yang sudah dirajut dengan kokoh di bulan Ramadhan pun mulai terurai benangnya satu per satu. Banyak ummat Islam yang mulai meninggalkan kebiasaan tadarus, qiyamul lail, shadaqah, dan amal-amal shalih lainnya.
Tanpa disadari, ummat Islam justru mengalami penurunan gairah beribadahnya dimulai pada bulan Syawal. Bulan Syawal yang harusnya menjadi bulan peningkatan ibadah, justru yang terjadi adalah sebaliknya.
Pakaian taqwa yang sudah terajut dengan kuat dan indah, perlahan mulai lepas rajutan benangnya satu per satu. Awalnya lepas satu benang, dan pada gilirannya bisa saja kain taqwa tersebut menjadi rusak, tercerai berai kembali menjadi benang-benang yang lemah.
Tentu kondisi seperti di atas bukanlah kondisi yang diharapkan oleh siapa pun. Idealnya setelah sebulan penuh aktivitas ibadah ditempa di bulan Ramadhan, maka pada bulan Syawal ini harus sudah menjadi kebiasaan, bahkan terjadi peningkatan kuantitas maupun kualitas ibadahnya.
Bagi ummat Islam yang tetap istiqamah, maka tentu bulan Syawal ini menjadi saat yang tepat untuk membuktikan ketaqwaanya. Pada bulan Syawal juga terjadi peningkatan ibadah yang mengantarkannya menjadi insan yang lebih baik lagi dari sebelum datangnya Ramadhan.
Namun bagi ummat Islam yang belum bisa istiqamah, maka bulan Syawal bisa saja justru menjadi bulan dimana dia gagal membuktikan ketaqwaanya. Amal ibadahnya semakin menurun dari waktu ke waktu, yang pada gilirannya dia kembali kepada kondisi sebelum datangnya bulan Ramadhan.
Jika demikian yang terjadi, maka ummat Islam yang seperti itu laksana kaum yang mengenal Allah hanya di bulan Ramadhan. Sebagaimana pendapatnya Imam Bisyr bin Al-Harits Al-Hafi di atas, maka kaum yang seperti itu adalah termasuk ke dalam seburuk-buruknya kaum. Na’udzubillah.
Oleh karenanya, mari kita jadikan bulan Syawal ini sebagai bulan peningkatan. Dengan demikian maka kita akan termasuk ke dalam golongan kaum yang shalih, yakni kaum yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh.
Hanya dengan meningkatkan ibadah dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan, maka gelar muttaqin seseorang akan tetap kokoh di dalam hatinya. Pakaian taqwanya tetap akan menjadi pakain terindahnya, dan bahkan akan menjadi bekal terbaiknya.
Allah SWT berfirman: “… Berbekallah, dan sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah [2]: 197).
Di bulan Syawal ini pun, mari kita perbanyak do’a kepada Allah agar diberikan hati yang senantiasa istiqamah, sebagaimana do’a yang senantiasa dibacakan oleh baginda Rasulullah SAW:
“Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diniika.”
Yang artinya: “Wahai Rabb yang membolak-balikan hati, teguhkanlah hatiku kepada agama-Mu.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan Al-Hakim).
Wallahu a’lam bish-shawab.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : Dok Pribadi)
Editor : Syahrir Rasyid