Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
SAAT ini kita tengah berada di pekan pertama bulan Muharram 1444 H. Penulis teringat dengan kisah nyata yang dialami sendiri pada tahun 1427 H.
Waktu itu hari Jum’at bertepatan dengan tanggal 4 Muharram 1427 H atau 3 Pebruari 2006. Penulis akan melakukan shafar dari Serang menuju Kota Kembang menggunakan kendaraan umum.
Penulis menunggu bis yang menuju ke Kota Kembang di depan deretan ruko-ruko menjelang pintu masuk tol Serang. Sayangnya, ruko-ruko tersebut kini sudah tidak ada lagi seiring dengan pembangunan di Kota Serang.
Pada saat menunggu bis, datanglah seorang pedagang koran dan menawarkan korannya. Karena satu dan lain hal, penulis menolak membeli koran tersebut. Akhirnya pedagang koran tersebut pergi meninggalkan.
Namun, tidak lama kemudian pedagang tersebut datang kembali. Dia menawarkan kembali korannya kepada penulis bahkan dengan penawaran khusus yakni diberikan diskon dari harga normal.
Penulis tetap menolak tawaran tersebut, namun dia tetap menawarkan dan setengah memaksa supaya membeli korannya. Akhirnya dengan terpaksa membeli koran tersebut.
Tidak lama setelah itu, bis menuju Kota Kembang pun datang. Penulis bersama calon penumpang yang lain, bergegas untuk naik dan masuk ke dalam bis.
Setelah mendapatkan tempat duduk, kemudian penulis melihat-lihat halaman demi halaman koran yang dibeli dengan harga khusus tadi. Koran tersebut adalah sebuah koran nasional islami yang berinisial R.
Setelah halaman dami halaman dibuka, tibalah di bagian tengah dari koran tersebut. Penulis pun menemukan sebuah suplemen khusus hari Jum’at dengan judul kurang lebih: “Anda Mau Hijrah Kemana?”
Sebuah judul yang menarik untuk dibaca lebih lanjut saat itu. Oleh karenanya, izinkan penulis menggunakan pertanyaan tersebut menjadi judul bahasan hikmah Jum’at kita pekan ini.
Sebuah pertanyaan yang menggelitik tentang hijrah masa kini. Tidak banyak ummat Islam yang mencoba memaknai setiap pergantian tahun baru hijriyah dengan bertanya seperti itu.
Pada era perjuangan Rasulullah SAW beserta para sahabatnya, hijrah adalah sebuah solusi sekaligus strategi untuk membangun kekuatan Islam di kota Madinah. Hijrah saat itu, bukan lagi hanya anjuran dari Rasulullah SAW, melainkan langsung perintah dari Allah SWT.
Hijrah saat itu, dilakukan dengan berpindah tempat tinggal dari kota Mekah menuju kota Madinah. Hijrah seperti ini disebut hijrah makaniyah. Sejatinya terjadi tiga kali hijrah makaniyah pada era Rasulullah SAW.
Yang pertama yaitu hijrah ke Habasyah atau Ethiopia sekarang, yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW. Hijrah yang kedua adalah ke Thaif dan yang ketiga adalah hijrah ke Yatsrib yang kemudian berganti nama menjadi kota Madinah. Hijrah yang kedua dan ketiga dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Selain hijrah makaniyah, terdapat pula hijrah maknawiyah.
Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim adalah seseorang yang menghindari menyakiti muslim lainnya dengan lidah dan tangannya. Sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah SWT.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Secara bahasa, hijrah berarti meninggalkan, menjauhkan diri, dan berpindah tempat. Dengan kata lain, seseorang dikatakan berhijrah jika ada sesuatu yang ditinggalkan dan ada sesuatu yang dituju.
Apakah hijrah masih relevan dengan kondisi saat ini?
Jawabannya adalah tentu sangat relevan. Bukankah Rasulullah SAW dan para sahabatnya berhijrah salah satunya adalah untuk menghindari musuh Islam?
Siapa musuh kita dalam menjalankan ketaatan kepada Allah saat ini?
Musuh kita saat ini sangat beragam, licin, bahkan sangat dahsyat serangannya.
Yang pertama adalah cinta dunia yang berlebihan, tak terkendali hingga mendorong manusia menjadi lupa daratan. Cinta dunia inilah yang mendorong manusia untuk melakukan kejahatan dan kemaksiatan.
Musuh yang kedua adalah hawa nafsu yang selalu dituruti. Hawa nafsu sejatinya harus dikendalikan. Namun, sebagian orang justru malah memperturuti hawa nafsunya. Hawa nafsu seperti ini akan membawa manusia ke dalam jurang kenistaan dan penyesalan yang tiada akhir.
Yang ketiga adalah setan gaib. Setan gaib senantiasa membisikan ke dalam hati seseorang untuk berbuat maksiat. Dia mengikuti aliran darah manusia. Setan jenis ini relatif masih bisa diatasi dengan membaca berbagai do’a perlindungan.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : Dok Pribadi)
Musuh yang ketiga adalah setan dalam wujud manusia. Mereka mengajak, mempengaruhi, memprovokasi dan bahkan memfasilitasi manusia untuk berbuat kejahatan dan kemaksiatan. Musuh yang ketiga ini relatif lebih berbahaya dibandingkan dengan setan gaib.
Lalu, kemanakah kita akan hijrah?
Pertama, kita berhijrah dari syirik menuju tauhid. Inilah prinsip utama dalam Islam yang bertauhid atau mengesakan Allah dalam segala bentuk peribadatan. Kita meninggalkan sesuatu yang dipertuhankan seperti harta, tahta, jabatan, pasangan, dan berhala-berhala lainnya menuju tauhid. Dengan hijrah, ibadah kita benar-benar dilakukan hanya untuk Allah semata.
Yang kedua adalah berhijrah dari kekufuran menuju keimanan. Meneguhkan keyakinan terhadap rukun iman serta meninggalkan segala bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah dan Rasul-nya. Dengan hijrah yang kedua ini, kita berusaha dengan sekuat tenaga dan kemampuan yang ada untuk senantiasa taat atas segala perintah dan menjauhi segala bentuk larangan dari Allah dan Rasul-nya.
Hijrah yang ketiga adalah dari kegelapan menuju cahaya. Islam adalah agama yang dilandasi oleh ilmu. Ilmu menjadi cahaya dalam menjalankan segala bentuk amal keislaman kita. Oleh karenanya, dalam konsep hijrah yang ketiga ini, seseorang yang awalnya beramal tanpa landasan ilmu, kini beramal senantiasa berlandaskan kepada ilmu.
Terakhir, hijrah dari jahiliyah kepada Islam. Jahiliyah adalah sebuah kondisi atau perilaku dimana seseorang hidup tanpa bimbingan dari Islam dan jauh dari Al-Qur’an. Dengan melakukan hijrah, maka perilakunya berubah menjadi selaras dan sejalan dengan Islam. Al-Qur’an dijadikannya sebagai way of life, yang senantiasa membimbingnya dalam kehidupan sehari-hari.
Hijrah membawa seseorang dari segala bentuk keburukan menuju berbagai kebaikan. Hijrah membawa seseorang dari kamaksiatan menuju kemashlahatan.
Wallahu a’lam bish-shawab. (*)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait