JAKARTA, iNewsSerpong.id - Negara kuat di Eropa Timur, Rusia , melakukan invasi terhadap Ukraina sejak Februari 2022. Perang tersebut berlangsung hingga detik ini dan telah menimbulkan berbagai dampak. Tak hanya untuk Rusia dan Ukraina, namun juga negara-negara lain merasakan dampaknya.
Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani mengemukakan bahwa risiko dan tantangan imbas perang kedua negara itu sangat besar. Ditambah, pemulihan yang masih sangat dini dan rapuh pasca-terjangan pandemi Covid-19. Tentunya, risiko dan tantangan tersebut sangat kompleks, sehingga berpeluang bisa menekan pertumbuhan ekonomi global.
Per Mei 2022, Rusia menghabiskan dana sebesar USD15,5 juta per jam untuk memerangi Ukraina sejak Februari 2022 lalu. Sebulan sebelumnya, Rusia mengabarkan bahwa anggaran federal yang senilai 628 miliar rubel sudah ludes untuk pertahanan nasional. Artinya, Rusia mengeluarkan dana hingga 21 miliar rubel dalam sehari.
Padahal, pada tahun 2021 pemerintah hanya mengeluarkan 275 miliar rubel untuk pertahanan. Lantas, bagaimana dampak perang terhadap ekonomi Rusia sendiri?
Mengutip informasi yang ada pada laman Foreign Policy Research Institute, pihak Amerika Serikat (AS) memprediksikan bahwa PDB (pendapatan domestik bruto) Rusia akan berkontraksi sebesar 15% pada tahun 2022 ini. Belum lagi, sanksi terhadap Rusia yang akan memengaruhi iklim ekonomi negara pimpinan Vladimir Putin itu.
AS sendiri tercatat memberlakukan larangan impor kepada Rusia. Hal itu disebut merugikan Rusia hingga USD1 miliar atau setara dengan Rp14,5 triliun.
Sementara, inflasi Rusia sudah melonjak hingga lebih dari 15% dan diproyeksikan masih akan melonjak. Rusia telah mengalami kontraksi 4% pada kuartal II/2022, berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Statistik Rusia. Padahal, pada kuartal pertama tahun ini ekonomi Rusia tumbuh sekitar 3,5%.
Meskipun tengah mengalami kondisi ekonomi yang tak menentu (bahkan anjlok), namun Pemerintah Rusia sudah bersiap memobilisasi ekonomi untuk masa perang yang lebih lama dengan Ukraina. Laman Financial Times menyebut, negara (Rusia) akan memiliki kuasa kontrol yang lebih besar atas bisnis swasta.
Hal itu menandakan bahwa Rusia tengah bersiap melakukan perang jangka panjang demi menguasai Ukraina. Selama mengalami sanksi, Rusia juga melakukan beberapa langkah agar selamat. Salah satunya adalah menaikkan suku bunga pada akhir Februari. Kebijakan itu dilakukan oleh Bank Sentral Rusia dari 9,5% ke rekor 20% per tahun.
Terkait pendapatan, The Washington Post menyebut bahwa Rusia mendapatkan hampir USD100 miliar (Rp1.450 triliun, kurs Rp14.500) pada 100 hari pertama perang dari ekspor bahan bakar fosil dan gas. Secara keseluruhan, nilai ekspor minyak dan gas Rusia mengalami penurunan lebih dari USD1 miliar per hari.
Negara yang menjadi importir bahan bakar fosil terbesar adalah China dengan nilai lebih dari USD13 miliar. Selanjutnya, ada Jerman yang membeli bahan bakar fosil asal Rusia sebesar USD12,6 miliar. Laporan CREA atau Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih Rusia mengungkapkan bahwa negara itu masih mendapatkan USD97 miliar hanya dari ekspor bahan bakar fosil dalam 100 hari pertama konflik.
(*)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait