Oleh Dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA
Waktu berputar sangat cepat. Tanpa disadari, 17 tahun telah berlalu. Semua peristiwa dan pengalaman ketika menjadi relawan di provinsi dengan julukan Serambi Mekah tersebut teringat kembali.
Tidak ada niatan untuk membuka luka lama. Tulisan ini saya sampaikan hanya untuk menunjukkan satu dari sekian banyak cerita yang tidak pernah diketahui banyak orang, yang dampaknya ternyata luar biasa terhadap anak-anak Aceh yang dalam penanganan saya di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUD-ZA). Kiranya dapat menjadi inspirasi bagi semua pejuang hidup di daerah bencana.
Satu hari setelah perayaan Natal 2004, Indonesia dikejutkan dengan bencana alam tsunami di Banda Aceh dan beberapa kota lainnya di Indonesia maupun di negara lain, seperti Thailand, Sri Lanka, dan India. Saat itu saya sedang mengikuti pendidikan untuk menjadi konsultan kanker anak di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ketika Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencari saya, guru-guru saya mengatakan saya sedang liburan Natal dan tidak dapat diganggu. Akhirnya saya baru diberangkatkan pada minggu ke-5 pasca bencana sebagai utusan IDAI di rombongan yang diorganisir oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Sampai di Banda Aceh, beberapa angkutan kota yang disewa telah menunggu dan siap membawa kami ke RSUD-ZA. Sebelum berangkat, di lapangan parkir kami masih sempat melakukan serah terima tugas dengan tim sebelumnya.
Sepanjang perjalanan tercium bau yang tidak dapat saya terangkan dengan kata-kata. Banyak juga terlihat mayat yang telah dimasukkan ke dalam kantong jenazah tergeletak di pinggir jalan. Kantong-kantong itu akan dimasukkan ke dalam truk oleh petugas untuk selanjutnya dimakamkan secara masal di tempat yang telah ditetapkan oleh pemerintah setempat.
Tsunami tidak hanya terjadi di kota Banda Aceh, tetapi juga di kota-kota lain di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Tugas tim dikonsentrasikan hanya untuk memberi dukungan medis di Kota Banda Aceh yang dipusatkan di RSUD-ZA.
Tiba di lokasi, tim diarahkan langsung ke ruang auditorium. Ruangan ini selanjutnya akan menjadi tempat kami menginap selama seminggu. Di auditorium, banyak relawan dari provinsi lainnya yang sudah datang lebih awal dari kami. Tampak bentangan tali rafia di sana-sini yang membatasi antara tempat istirahat provinsi yang satu dengan provinsi lainnya. Tim dari DKI Jakarta sudah disediakan tempat oleh tim DKI Jakarta sebelumnya di area panggung.
RSUD-ZA tampak karut marut akibat tsunami yang menghantam hampir seluruh kota Banda Aceh. Di dinding rumah sakit dapat terlihat garis berwarna coklat yang menandakan berapa tinggi lumpur yang dibawa oleh hempasan gelombang tsunami. Tempat tidur dan komputer yang rusak akibat lumpur, berkas-berkas rekam medis, dan masih banyak lagi benda-benda lainnya yang biasa ditemukan di rumah sakit bertebaran tidak teratur di halaman dan sepanjang koridor rumah sakit. Berdasarkan informasi, lebih kurang 400 karyawan RSUD-ZA dinyatakan meninggal dalam waktu sesaat.
Setelah meletakkan semua barang bawaan di auditorium, saya dan beberapa teman mencoba mencari relawan dari daerah lainnya untuk mendapatkan informasi tentang apa yang rumah sakit ini benar-benar butuhkan. Kami bertemu dengan relawan dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Malang, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan masih banyak lagi lainnya yang saya sendiri juga sudah tidak ingat lagi semuanya. Semua tim yang ada sepakat untuk bertemu setelah makan siang di auditorium.
Makan siang hari pertama telah dipesan oleh tim sebelumnya ke sebuah rumah makan yang sudah menjadi langganan sejak tim DKI Jakarta mengirimkan relawan-relawannya. Makanannya adalah makanan khas relawan bencana yang sering saya sebut dengan istilah makanan generik. Isinya terdiri atas nasi, ayam goreng, sayur, tempe/tahu, sambal, dan kerupuk.
Singkat cerita, hasil pertemuan membuahkan keputusan, wakil dari semua daerah menunjuk saya sebagai ketua tim yang mewakili Indonesia. Jadi di lapangan tidak ada lagi yang mengatasnamakan daerah, semuanya adalah tim Indonesia.
Saat itu kami menyadari kalau tenaga perawat sangat kurang. Akhirnya dilakukan pendataan tenaga kesehatan yang dibawa masing-masing daerah. Kami tidak bisa berharap banyak dari tenaga kesehatan yang memang tugasnya di RSUD-ZA. Mereka masih trauma dan belum sanggup untuk tugas jaga malam karena keluarga mereka takut kalau tsunami datang lagi, mereka akan terpisah satu sama lain. Kalaupun masih ada yang mau bekerja, kami jadwalkan mereka di tugas pagi atau siang. Tugas malam dilakukan oleh perawat-perawat relawan. Demikian juga halnya dengan dokter. Setelah sekian lama tidak pernah jaga malam, di sana saya jadi jaga malam lagi.
Sebagai dokter anak, saya berusaha mencari dokter anak yang bertugas di RSUD-ZA. Bersyukur saya dapat menemuinya secara tidak sengaja dalam perjalanan saya menuju ruang rawat inap anak. Beliau mengatakan, untuk sementara waktu, ruang rawat inap anak ditangani oleh tim dokter anak dari Belgia. Saya diminta berkolaborasi dengan mereka.
Bersyukur ada tim dari Belgia sebanyak 6 orang, yang terdiri atas 3 dokter anak dan 3 perawat anak. Mereka sudah hadir terlebih dahulu dengan membawa segala peralatan berupa inkubator, ventilator, dan masih banyak lagi alat-alat lainnya yang dibutuhkan.
Setelah mereka mengetahui bahwa saya relawan dokter anak asal Indonesia, ketua tim dokter anak Belgia menyerahkan kepemimpinan bangsal ini kepada saya. Jadilah saya berkordinasi dengan mereka tentang aktivitas sehari-hari yang akan kami jalani bersama.
Pasien semua dibagi rata dan setiap pagi kami melakukan ronde bangsal. Kasus yang paling banyak dijumpai adalah pneumonia atau infeksi paru akibat aspirasi atau masuknya air laut yang bercampur lumpur ke dalam paru-paru. Gejala utama yang dijumpai adalah demam dan sesak napas.
Semua pencitraan paru menunjukkan gambaran putih yang cukup luas di kedua lapang paru. Antibiotik sudah diberikan sesuai dengan protokol pengobatan yang berlaku, namun tidak menunjukkan perbaikan sama sekali, baik secara fisik maupun pencitraan.
Semua anggota tim sempat frustasi dengan kejadian ini. Kami tidak tahu harus berbuat apa dan harus mengobati dengan antibiotik apa lagi. Jenis antibiotik yang tersedia saat itu memang sangat terbatas.
Suatu hari, saya masih ingat waktu itu di atas pukul 12 siang, datang seorang anak yang dirujuk dari tenda perawatan tim medis Spanyol. Kasusnya sama, pneumonia. Namun yang menarik, kondisi anak ini jauh lebih baik dari anak-anak yang kami rawat.
Tentu kami ingin mengetahui apa rahasia di balik ini semua. Setelah membaca surat rujukan berikut lampiran-lampiran yang diikutsertakan dalam surat tersebut, dokter yang ditugaskan untuk menangani anak ini mendapatkan lembar hasil pemeriksaan kultur darah.
Kesimpulannya, ditemukan bakteri di dalam darah yang sensitif hanya terhadap antibiotik meropenem. Antibiotik tersebut memang tidak termasuk dalam daftar obat yang tersedia di rumah sakit mengingat saat itu obat ini termasuk obat dewa yang mahal harganya.
Berdasarkan fakta yang ada dan pemikiran bahwa semua anak-anak ini pasti mengalami aspirasi dari air laut bercampur lumpur yang sama, maka kemungkinan bakteri yang ada di dalam darah anak-anak ini juga sama dan hanya sensitif terhadap meropenem. Tidak heran bila anak-anak yang kami rawat tidak menunjukkan perbaikan.
Tanpa berpikir panjang, saya segera menghubungi Ketua IDAI dan menceritakan semua yang terjadi. Beliau segera menghubungi produsen obat tersebut dan meminta mereka mendonasikan obat yang dimaksud.
Sangat disyukuri karena obat ini dapat segera dikirim dan sampai di RSUD-ZA keesokkan harinya. Segera kami berikan antibiotik ini dan hasilnya luar biasa. Gejala demam dan sesak berangsur pulih dan hasil pencitraan paru menunjukkan bagian yang putih sudah banyak berkurang pertanda fungsi paru sudah mulai membaik. Akhirnya banyak anak yang dinyatakan sembuh dan boleh pulang. Saya dan teman-teman dokter anak dari Belgia tentu bahagia dengan pencapaian ini.
Suatu pengalaman yang tidak dapat dilupakan. Gara-gara 1 anak ini yang Tuhan kirimkan untuk dirujuk, kami dapat menyelamatkan banyak anak lainnya. Dalam situasi seperti ini, pasti ada campur tangan Tuhan di dalamnya.
Sungguh kebanggaan bagi kami karena Tuhan berkenan memakai siapa saja, termasuk saya dan teman-teman dari Belgia, sebagai perpanjangan tangan-Nya untuk membantu anak-anak yang terdampak tsunami di Aceh. Tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata kebahagiaan yang dirasakan melihat senyum anak-anak yang kami rawat ketika diperbolehkan pulang.
Rasa lelah yang luar biasa lenyap dalam sekejap melihat hasil perjuangan yang membuahkan hasil, anak-anak ini dapat bertahan dan melanjutkan kehidupannya. Saya tidak bisa mengingat anak-anak ini satu persatu. Semoga ada salah satu atau lebih dari mereka yang membaca tulisan ini dan menyadari bahwa kehidupan yang dijalaninya sekarang adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa melalui perjuangan para relawan yang sangat peduli terhadap nyawa manusia. (*)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait