HIKMAH JUMAT : Mengikat Nikmat

Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si.
Kebahagiaan seseorang tidak bisa diukur hanya berdasarkan materi yang dimiliki. Materi tidak menjamin kehidupan seseorang akan bahagia. (Foto : Ist)

PENULIS : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina

BANYAK ORANG yang merasa hidupnya hambar, hampa bahkan tidak bahagia. Padahal, dari sisi ekonominya berlimpah, jabatannya juga tinggi, serta memiliki fasilitas hidup lainnya yang sangat lengkap.

Sebaliknya, ada orang yang secara ekonomi tergolong pas-pasan bahkan sulit, jangankan jabatan, pekerjaannya pun serabutan, dan tidak memiliki fasilitas hidup seperti orang-orang kaya itu. Namun demikian, hidupnya tenang, damai, dan bahagia bersama keluarganya.

Mengapa demikian?

Mungkin itu pertanyaan yang muncul dalam benak kita saat ini.

Ya, memang kebahagiaan seseorang itu tidak bisa diukur hanya berdasarkan materi yang dimilikinya. Materi tidak menjamin bahwa kehidupan seseorang akan bahagia. Bahkan tidak jarang, banyak materi yang dimilikinya namun tidak dapat dinikmati sebagaimana mestinya.

Kebahagiaan seseorang sejatinya ditentukan oleh kemampuan orang tersebut dalam mengikat nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Semakin mampu orang tersebut dalam mengikat nikmat Allah, maka semakin berkah dan bahagia hidupnya.

Cara Mengikat Nikmat

Menurut Baginda Rasulullah Muhammad SAW, nikmat itu liar laksana liarnya binatang buas, oleh karenanya harus diikat oleh pemilik nikmat tersebut. Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya nikmat itu liar, seperti liarnya binatang buas, maka ikatlah nikmat itu dengan bersyukur.” (HR. Bukhari).

Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin menjelaskan bahwa jika seorang hamba mampu bersyukur sebagai upayanya untuk mengikat nikmat Allah, maka yang dia peroleh tidak hanya nikmatnya yang bertambah, namun Allah juga akan mengekalkan nikmatnya.

Allah SWT berfirman yang artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim [14]: 7.

Berdasarkan ayat di atas, bagi setiap hamba yang bersyukur, artinya dia telah mengikat nikmatnya dengan baik, maka Allah tambahkan nikmat-Nya. Namun bagi yang tidak mau mengikat nikmatnya, Allah sudah berikan peringatan akan adanya azab yang berat.


Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
 
 

Yang perlu kita sadari adalah bahwa nikmat atau rezeki itu tidak selalu berbentuk materi seperti harta atau uang semata. Tubuh yang sehat, keluarga yang samara, sahabat yang baik, ilmu yang bermanfaat, udara yang kita hirup, semuanya adalah nikmat atau rezeki dari Allah SWT.

Terlebih lagi dengan adanya nikmat iman dan Islam yang Allah berikan kepada kita. Dengan kedua nikmat tersebut kita bisa beribadah dengan penuh keikhlasan dan kesadaran bahwa kita adalah hamba-Nya yang lemah, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah SWT.

Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl [16]: 18).

Begitu banyaknya nikmat yang telah dan senantiasa Allah SWT berikan kepada kita, sehingga dengan menggunakan bantuan alat secanggih apapun, kita tidak akan mampu menghitung banyaknya nikmat yang telah kita terima.

Lebih jauh dari itu, alih-alih mengikat nikmat yang telah Allah SWT berikan, yang terjadi justru banyak manusia yang lalai bahkan tidak mampu bersyukur. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Saba’ [34] ayat 13 yang artinya: “Sangat sedikit sekali di antara hamba-Ku yang mau bersyukur.”

Syarat Syukur Sebagai Pengikat Nikmat

Agar syukur yang dilakukan benar-benar menjadi pengikat nikmat, maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni:

1. Yakin bahwa semua kebaikan datangnya dari Allah SWT.

Allah SWT adalah sumber rezeki (Ar-Razzak). Oleh karena itu, rezeki apapun yang kita terima berupa kenikmatan atau kebaikan, sejatinya adalah dari Allah SWT. Manusia, siapapun itu, adalah hanya salah satu jalan datangnya kebaikan, bahkan ada juga rezeki yang tidak diduga kedatangannya.

Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl [16]: 53).

Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman yang artinya: “Kebaikan apapun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apapun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri ...” (QS. An-Nisa [4]: 79).


Yakin bahwa semua kebaikan datangnya dari Allah SWT. (Foto : Ist)
 
 

2. Memuji Allah dalam setiap keadaan.

Mengucapkan Alhamdulillah dalam setiap keadaan adalah bukti syukur seorang hamba dengan cara mengucapkan pujian kepada Allah SWT. Baginda Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Segala puji bagi Allah dalam segala keadaan.” (HR. Ibnu Majah).

Baik dan buruknya keadaan bukan hawa nafsu kita ukurannya. Bisa jadi menurut hawa nafsu kita sesuatu itu baik, padahal buruk menurut Allah SWT. Demikian pula sebaliknya, bisa jadi menurut hawa nafsu kita sesuatu itu buruk, padahal baik menurut Allah SWT.

Allah SWT berfirman yang artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).

3. Pandai berterima kasih kepada sesama manusia.

Seorang hamba yang pandai mengikat nikmat tidak hanya pandai bersyukur kepada Allah SWT, namun dia juga pandai berterima kasih kepada sesama manusia. Dia tahu bahwa rezeki sumbernya dari Allah SWT, namun dia juga sadar bahwa jalannya melalui manusia.

Oleh karena itu, cara lain mengikat nikmat adalah dengan berterima kasih kepada sesama manusia. Baginda Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidak disebut bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Selain berterima kasih, kita dianjurkan pula untuk membalas kebaikan yang diberikan oleh orang lain dengan sesuatu yang lebih baik lagi. Ucapan terima kasih terindah yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah SAW adalah dengan mengucapkan “Jazaakallahu khairan” (HR. Tirmidzi dan Thabrani).

“Ya Allah, bimbinglah aku untuk selalu mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu, serta agar bisa beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad). Itulah do’a yang diajarkan Baginda Rasulullah SAW, agar kita mampu mengikat segala nikmat yang telah Allah berikan. (*)


Pandai berterima kasih kepada sesama manusia. (Foto : Ist)
 

Wallahu a’lam bish-shawab.

          

Editor : Syahrir Rasyid

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network