Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
SYARIAT IBADAH kurban yang kita lakukan saat ini dilandasi oleh kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS. Nabi Ibrahim AS diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih putra kesayangannya, yaitu Nabi Ismail AS yang saat itu baru menginjak usia remaja.
Nabi Ismail AS adalah anak yang diidam-idamkan oleh Nabi Ibrahim AS, seorang anak yang diharapkan kelak dapat menjadi penerus perjuangan dakwahnya. Salah satu doa Nabi Ibrahim AS yang diabadikan oleh Allah SWT dalam Al-Quran adalah: “Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 100).
Kemudian Allah SWT pun memberikan kabar gembira kepada Nabi Ibrahim atas doa-doanya selama ini. Allah SWT mengabarkan bahwa akan lahir seorang anak yang sangat cerdas lagi sabar, sebagaimana firman-Nya artinya: “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang sangat cerdas lagi sabar.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 101).
Kabar Gembira dari Allah SWT
Nabi Ibrahim AS menyambut dengan syukur dan suka cita terhadap kabar gembira yang Allah SWT berikan terkait akan lahirnya seorang anak yang sudah lama diidam-idamkannya. Setelah anak tersebut lahir, maka diberilah nama Ismail, yang kemudian dirawat, dibimbing dan dididiknya hingga usia remaja.
Setelah Ismail tumbuh menjadi seorang anak remaja, maka Allah SWT menguji Nabi Ibrahim AS dengan perintah-Nya melalui sebuah mimpi. Nabi Ibrahim AS berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Ismail, anak remaja yang shalih dan cerdas itu pun menjawab: “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, in syaa Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Bergetarlah hati Nabi Ibrahim AS, tangis dan air mata pun tak tertahankan saat itu. Begitu bangganya Nabi Ibrahim AS atas sikap anaknya, namun di sisi lain, sebagai seorang ayah begitu berat hatinya untuk menyembelih anaknya sendiri.
Namun karena ini adalah perintah dari Allah SWT, tatkala keduanya sudah membulatkan hati, pasrah dan menerima akan ketentuan Allah SWT, maka Ismail pun dibaringkan dengan posisi pelipis di atas tanah, dan siap untuk disembelih.
Pada dasarnya kurban adalah bentuk solidaritas yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Foto : Ist)
Dalam Al-Qur’an surat Ash-Shaffat [37] ayat 103 – 105, Allah SWT berfirman yang artinya: Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia Ibrahim: “Hai Ibrahim, sebenarnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Selanjutnya, Allah SWT berfirman yang artinya: “Sesungguhnya ini ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 106 - 111).
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, setidaknya terdapat tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari ibadah kurban ini, yaitu:
Totalitas Kepatuhan Hanya Untuk Allah SWT
Nabi Ibrahim AS mendapat gelar khalilullah atau kekasih Allah karena berhasil membuktikan cintanya kepada Allah melalui kepatuhannya terhadap perintah Allah SWT. Bisa dibayangkan betapa beratnya perintah yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail AS, di tengah rasa bahagia yang sedang memuncak.
Di tengah campur aduknya perasaan itu, Nabi Ibrahim AS mencoba menyampaikan informasi terkait perintah Allah ini kepada putra kesayangannya dengan penuh kehati-hatian. Diksi yang dipilih Nabi Ibrahim AS pun adalah meminta pendapat kepada Ismail sang anak remaja tentang perintah untuk menyembelih dirinya, bukan memaksanya.
Ismail sang anak remaja pun memberikan jawaban yang tidak kalah luar biasanya dibandingkan dengan ayahnya. Meski usianya masih sangat belia, namun Ismail AS berhasil membuktikan kepatuhannya kepada Allah SWT serta baktinya kepada orang tuannya. Ismail AS menjawab dengan meminta kepada ayahnya agar ayahnya melaksanakan perintah dari Allah SWT tersebut.
Perintah menyembelih Ismail AS kepada Nabi Ibrahim AS seolah mengingatkan kepada Nabi Ibrahim AS dan juga kita semuanya, bahwa anak adalah titipan sekaligus ujian dari Allah SWT. Allah SWT berfirman yang artinya: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah ujian (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun [64]: 15).
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
Perhiasan Dunia dan Kemuliaan Manusia
Anak dijadikan sebagai sebuah simbol dari perhiasan dunia yang paling mahal. Banyak orang tua yang rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan, kesehatan dan keselamatan anak-anaknya. Namun demikian, janganlah kita menilai mahal suatu harta jika itu digunakan untuk mempertahankan nilai-nilai ketuhanan, keimanan, dan keislaman kita.
Di sisi lain, kita juga tidak boleh dengan mudah mengorbankan nyawa dan mengalirkan darah manusia. Janganlah kita meremehkan nilai kemuliaan manusia. Oleh karenanya, dalam kisah Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS, Allah SWT menggantinya dengan seekor sembelihan yang sangat besar.
Hal ini seolah membantah dan mengharamkan tradisi orang-orang zaman dahulu yang suka memberikan persembahan berupa sembelihan manusia kepada sesembahannya. Allah SWT mengingatkan kepada kita semua dalam firman-Nya yang artinya:
“... barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. ...” (QS. Al-Maidah [5]: 32).
Hakikat Pengorbanan
Pengorbanan sejatinya memang harus dilakukan oleh setiap insan. Pengorbanan dalam bentuk tenaga, waktu, pemikiran, harta, dan lain sebagainya sejatinya harus dilakukan oleh setiap insan agar terciptanya keselarasan dalam hidup dan kehidupan ini.
Misalnya saja kita tengah buru-buru mengejar waktu, namun karena lampu lalu lintas warna merah menyala, maka kita harus mengorbankan waktu kita sejenak untuk berhenti. Bayangkan apa yang akan terjadi, jika karena ego, kita tetap memaksakan terus berjalan padahal lampu merah sedang menyala.
Itulah hakikat pengorbanan. Andaikan saja Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS saat itu mengedepankan egonya, maka tentu hari ini hidup dan kehidupan kita akan sangatlah kacau. Semua orang akan mengedepankan ego dan keserakahannya. Namun beruntung, Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS tidak melakukannya.
Sekali lagi, di sinilah hakikatnya kurban. Hewan kurban yang kita sembelih adalah simbol terhadap wajibnya kita menyembelih ego kebinatangan kita, serta keserakahan dan nafsu angkara murka kita.
Semuanya kita lakukan agar dapat menggapai kedekatan (qurb) dengan Allah SWT, karena pada dasarnya kurban adalah bentuk solidaritas yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. (*)
Anak dijadikan sebagai sebuah simbol dari perhiasan dunia yang paling mahal. (Foto : Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait