Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. - Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
KONFLIK SOSIAL di Pulau Rempang, Batam telah menyita perhatian banyak pihak dalam beberapa hari ini. Aparat pemerintahan baik sipil maupun militer disibukkan dengan masalah ini. Tak ketinggalan juga para politisi yang ikut “memanfaatkan” konflik ini dengan berbagai komentarnya.
Mengutip pendapat dari Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, yang tersebar di berbagai media massa, bahwa konflik sosial di Pulau Rempang dipicu oleh tiga hal yaitu komunikasi dan sosialisasi yang tidak berjalan dengan baik antara pemerintah daerah dengan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut, masalah perizinan, dan adanya dugaan campur tangan asing.
Belajar dari konflik sosial yang ada di Pulau Rempang, maka sejatinya konflik tersebut tidak perlu terjadi. Semua pihak harus mampu menahan diri dan mengedepankan upaya-upaya persuasif dalam penyelesaian masalah yang ada.
Ada beberapa strategi yang ditawarkan oleh Islam dalam menyelesaikan berbagai konflik, termasuk konflik sosial. Strategi-strategi tersebut bersumber langsung dari firman Allah maupun contoh dari Baginda Rasulullah SAW.
Islam Memanusiakan Manusia
Sebelum kita bahas strategi-strategi tersebut, perlu dipahami bahwa Islam adalah agama yang memanusiakan manusia. Islam mengajarkan dan menuntun agar manusia tetaplah menjadi manusia, terjaga eksistensinya sebagai makhluk Allah yang mulia dan tidak turun derajatnya menjadi seperti binatang ternak atau bahkan lebih hina lagi. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu laksana binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf [7]: 179).
Dalam ayat yang lain, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya yang artinya: “Dan sungguh, Kami telah muliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS. Al-Isra [17]: 70).
Baginda Rasulullah SAW pada saat Haji Wada’ menyampaikan pesan melalui sabdanya: “Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhanmu adalah satu dan nenek moyangmu juga satu. Tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa lain. Tidak ada kelebihan bangsa lain terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah terhadap orang yang berkulit hitam. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit hitam terhadap yang berkulit merah. Kecuali dengan takwanya.” (HR. Ahmad, Baihaqi, dan Al-Haitsami).
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
Pesan Rasulullah SAW di atas jelas mengisyaratkan bahwa umat Islam harus menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Lebih jauh lagi dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Baginda Rasulullah SAW bersabda:
“Maukah kalian kuberitahu mengenai pengertian mukmin? Mukmin ialah orang yang memastikan dirinya bisa memberi rasa aman untuk jiwa dan harta orang lain. Adapun muslim ialah orang yang memastikan ucapan dan tindakannya tidak menyakiti orang lain.”
Hadits di atas merupakan kutipan dari pidato Baginda Rasulullah SAW saat Fathu Makkah (pembebasan kota Mekah). Saat itu umat Islam di bawah komando Rasulullah SAW sedang berada pada puncak kemenangan, sedangkan saat itu, masyarakat kota Mekkah masih banyak yang menyembah berhala. Namun, Baginda Rasulullah SAW memberikan jaminan keamanan dan keberlangsungan kehidupan bagi mereka.
Strategi Islam Mengatasi Konflik Sosial
Dalam mengatasi konflik sosial, Islam memberikan beberapa strategi di antaranya:
Pertama, melakukan tabayun (klarifikasi)
Dalam konteks ini, pihak-pihak yang berkonflik harus melakukan klarifikasi atas sebuah berita atau informasi yang diterimanya dari pihak lain. Tabayun merupakan upaya untuk mencari kejelasan agar tidak menimbulkan fitnah, sekaligus menguji kebenaran sebuah informasi yang diterima dari pihak lain.
Semangat tabayun disampaikan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Hujuran [49] ayat 6 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kamu seorang fasik membawa sesuatu berita, maka selidikilah (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini dengan sebab kejahilan kamu (menganiaya) sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu telah lakukan.”
Kedua, melakukan tahkim (mediasi).
Upaya tahkim diambil dari perintah Allah SWT terkait penyelesaian konflik antara seorang suami dengan istrinya. Tahkim dilakukan dengan cara mendatangkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik sosial yang ada. Mediator berperan sebagai juru damai, sehingga harus memiliki sifat jujur dan berpihak kepada kebenaran.
Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’[4]: 35).
Pihak-pihak yang berkonflik harus melakukan klarifikasi atas sebuah berita atau informasi yang diterimanya dari pihak lain. (Foto : Ist)
Ketiga, melakukan al-syura (musyawarah).
Dalam upaya al-syura, konflik diselesaikan dengan cara melakukan musyawarah mufakat untuk mengambil keputusan yang disepakati bersama. Hal ini sangat penting dalam menyelesaikan sebuah konflik, terlebih lagi konflik sosial yang melibatkan banyak pihak. Musyawarah diperintahkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 159).
Keempat, sikap al-‘afwu (saling memaafkan).
Dalam sebuah konflik yang sedang terjadi, biasanya setiap pihak mempertahankan egonya masing-masing. Dengan sikap al-‘afwu ini, maka setiap pihak diminta untuk berdamai dengan egonya masing-masing dan dilanjutkan dengan memaafkan pihak lain yang sedang berkonflik dengannya.
Spirit memaafkan diambil dari strategi menyelesaikan masalah antar seorang suami dengan istrinya yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2] ayat 237 yang artinya: “... dan pemaafan itu lebih dekat kepada takwa ...”.
Kelima, tekad al-ishlah (berdamai).
Apapun strategi yang digunakan untuk menyelesaikan konflik sosial jika tidak ada tekad untuk berdamai, maka semuanya akan menjadi sia-sia belaka. Tekad untuk berdamai harus ada di dalam diri masing-masing pihak yang berkonflik.
Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal [8]: 61). (*)
Tekad untuk berdamai harus ada di dalam diri masing-masing pihak yang berkonflik. (Foto : Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait