Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. - Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; & Ketua PCM Kecamatan Pagedangan - Tangerang
HARI INI Jumat, 10 November 2023 adalah hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari ini, 78 tahun yang lalu arek-arek Surabaya di bawah pimpinan Bung Tomo bertempur melawan tentara sekutu dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pertempuran yang sangat heroik dibakar dengan pekik “Allahu Akbar!!!” ini, adalah pertempuran pertama rakyat Indonesia melawan tentara sekutu pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Tak sedikit pejuang yang menjadi syuhada atau pahlawan pada peristiwa tersebut. Oleh karenanya, untuk mengenang jasa para syuhada dan pejuang pada peristiwa tersebut diperingatilah setiap tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan dan kota Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan.
Banyak Kesempatan jadi Pahlawan
Sebagai generasi penerus perjuangan luhur para pahlawan, maka sudah menjadi keharusan bagi kita saat ini, untuk mengambil peranan dalam mengisi setiap celah kemerdekaan yang ada. Begitu banyak kesempatan bagi kita untuk menjadi pahlawan dalam segala bidang.
Pahlawan tidak harus gugur di medan perang atau dalam pertempuran bersenjata saja. Karena sejatinya pahlawan adalah orang yang berjuang membela kebenaran dengan penuh keikhlasan dan rela berkorban, tidak hanya dengan harta, namun juga ilmu, tenaga, raga, bahkan jiwanya.
Seseorang yang mau berjuang membela kebenaran dengan penuh ikhlas dan rela berkorban seperti dijelaskan di atas, maka berarti orang tersebut telah memiliki jiwa kepahlawanan. Namun, jiwa kepahlawanan tersebut tidaklah muncul tiba-tiba dan tidak dapat dibentuk secara instan.
Walaupun, sejatinya setiap orang memiliki peluang bahkan dianugerahi jiwa kepahlawanan oleh Allah SWT. Namun, jika jiwa kepahlawanan itu tidak diasah, maka jiwa kepahlawanan itu tidak akan tumbuh dan hadir menjelma menjadi karakter pada diri seseorang.
Perjuangan yang dilakukan seseorang tanpa disertai dengan jiwa kepahlawanan, maka perjuangannya itu sangat mungkin hanya untuk mencari popularitas atau nama semata. Orang tersebut bisa saja mendapatkan apa yang dia cari, namun hanya sia-sia di mata Allah SWT.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
Terkait hal di atas, Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang menceritakan bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seseorang: “Ya Rasul, tahukah engkau orang yang berperang untuk mencari pahala dan popularitas? Apa yang didapatkan oleh orang seperti itu?”
Rasul menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.”
Orang tersebut mengajukan pertanyaan yang sama hingga tiga kali dan Rasul pun memberikan jawaban yang sama. Rasul kemudian menegaskan: “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal (perjuangan), kecuali yang ikhlas dan semata-mata mengharap ridha-Nya.”
Selanjutnya, mari kita renungkan hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya (mengakuinya).
Allah bertanya kepadanya: “Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?” Ia menjawab: “Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.” Allah berkata: “Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).” Kemudian diperintahkan (Malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.”
Rasulullah melanjutkan sabdanya: “Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an (para ulama dan ahli Al-Qur’an). Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya.
Kemudian Allah menanyakannya: “Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?” Ia menjawab: “Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca Al-Qur’an hanya karena Engkau.”
Allah berkata: “Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca Al-Qur’an supaya dikatakan seorang qari’ (pembaca Al-Qur’an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).” Kemudian diperintahkan (Malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.”
Rasulullah SAW selanjutnya menceritakan orang yang ketiga: “Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya.
Allah bertanya: “Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?” Ia menjawab: “Aku tidak pernah meninggalkan sedekah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.”
Allah berkata: “Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).” Kemudian diperintahkan (Malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.”
Pendidikan adalah pilar utama dalam menghadirkan jiwa kepahlawanan pada diri seseorang. (Foto : Ist)
Proses Menghadirkan Jiwa Kepahlawanan dalam Islam
Menghadirkan jiwa kepahlawanan memang memerlukan proses khusus. Setidaknya, terdapat tiga hal yang harus dilakukan sebagai proses dalam membentuk jiwa kepahlawanan dalam diri seseorang menurut pandangan Islam, yaitu:
Proses Pendidikan yang Benar
Pendidikan adalah pilar utama dalam menghadirkan jiwa kepahlawanan pada diri seseorang. Melalui proses pendidikan, jiwa kepahlawanan dapat ditanamkan sejak dini. Pendidikan kepahlawanan tidak hanya dilakukan di sekolah, namun dimulai dari pembinaan di rumah-rumah.
Rumah menjadi sentral proses pendidikan jiwa kepahlawanan bagi setiap pribadi muslim. Orang tua menjadi figur yang sangat berperan dalam menumbuhkan dan menghadirkan jiwa kepahlawanan sejak dini. Orang tua dapat berperan sebagai teladan kepahlawanan bagi anak-anaknya.
Menanamkan Orientasi Hidup yang Benar
Jiwa kepahlawanan yang sejati akan hadir seiring dengan benarnya orientasi hidup seseorang. Orientasi hidup seseorang yang memiliki jiwa kepahlawanan adalah melakukan yang terbaik dalam setiap perjuangannya dengan niat karena Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah (wahai Muhammad): “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, hanyalah untuk Allah, Tuhan Semesta Alam.” (QS. Al-An’am [6]: 162).
Seseorang yang memiliki jiwa kepahlawanan, paham betul dengan sabda Baginda Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menanamkan Sifat Pemberani dan Berbudi Pekerti Luhur
Jiwa kepahlawanan seseorang menuntut adanya sifat pemberani dalam implementasinya. Berani karena benar serta berani demi membela dan menegakkan kebenaran. Tidak takut mendapatkan celaan dari siapa pun dan tidak takut kepada siapa pun yang mencelanya (QS. Al-Maidah [5]: 54).
Selain itu, implementasi jiwa kepahlawanan juga menuntut adanya sifat terpuji yakni berbudi pekerti luhur. Sifat dan budi pekerti luhur yang dimaksud di antaranya adalah berintegritas yakni memiliki karakter yang jujur dan kuat dalam bertindak sesuai dengan nilai, prinsip, dan keyakinan hidup yang dipegangnya. (*)
Jiwa kepahlawanan seseorang menuntut adanya sifat pemberani dalam implementasinya. (Foto : Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait