Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. - Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; & Ketua PCM Pagedangan - Tangerang
MENJADI SEORANG pemimpin adalah fitrah bagi seluruh umat manusia. Siapa pun orangnya, baik laki-laki maupun perempuan, siapa pun dia, sejatinya dia adalah seorang pemimpin, minimal pemimpin bagi dirinya sendiri.
Hal ini ditegaskan oleh Baginda Rasulullah SAW melalui sabdanya yang artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Para pembaca yang budiman, untuk yang kesekian kalinya, Hikmah Jum’at mengangkat tema kepemimpinan dengan harapan dapat menjadi panduan bagi kita dalam memilih pemimpin nasional. Karena jika salah dalam memilih pemimpin, maka risikonya bisa fatal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jauh dari Janji Manis
Tak sedikit pemimpin ketika dia memegang amanah sebagai pemimpin, justru jauh dari janji manis yang diucapkannya ketika dia berupaya meraih simpati rakyatnya. Tak jarang pemimpin yang malah sibuk dengan kepentingan pribadinya dan melupakan kepentingan rakyatnya.
Ketika itu yang dilakukannya, maka artinya pemimpin tersebut tengah berada di bibir jurang kegagalan. Kegagalan seorang pemimpin, tidak hanya berdampak kepada diri pemimpin itu sendiri, namun justru dapat menyengsarakan rakyat yang dipimpinnya.
Untuk itu, pilihlah pemimpin yang memiliki sifat-sifat mulia dan telah dibuktikan melalui rekam jejak kepemimpinannya. Di antara sifat-sifat mulia tersebut, digambarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang artinya:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, yang berat memikirkan penderitaanmu, sangat menginginkan kamu (beriman dan selamat), dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah [9]: 128).
Pada ayat di atas, Allah SWT menggambarkan sifat mulia Baginda Rasulullah SAW yang telah sukses dalam menjalankan amanah kepemimpinannya. Tampak jelas pada ayat di atas bahwa Baginda Rasulullah SAW senantiasa memikirkan dan memprioritaskan rakyatnya.
Oleh karena itu, jika seorang pemimpin ingin sukses dalam menjalankan amanah kepemimpinannya, maka hendaknya dia memiliki tiga sifat mulia yang bersumber dari sifat mulia kepemimpinan Baginda Rasulullah SAW. Ketiga sifat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : Dok Pribadi)
‘Azizin ‘alaihi ma ‘anittum (sense of crisis)
‘Azizin ‘alaihi ma ‘anittum memiliki makna bahwa seorang pemimpin harus memiliki kepekaan terhadap penderitaan yang dialami oleh rakyatnya. Dalam istilah modern, sifat ini dikenal dengan istilah sense of crisis.
Seorang pemimpin harus dapat merasakan penderitaan rakyatnya yang mengalami kesulitan dalam hal perekonomian, pekerjaan, pendidikan, perumahan, lingkungan hidup, dan kesulitan-kesulitan lainnya. Dirasakan, dipikirkan, kemudian diberikan solusi terbaiknya.
Bahkan Baginda Rasulullah SAW senantiasa memikirkan penderitaan yang dialami oleh umatnya, tidak hanya sekedar penderitaan di dunia ini, namun penderitaan umatnya di akhirat kelak pun sudah dipikirkannya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Baginda Rasulullah SAW selesai membaca surat Ibrahim ayat 36 dan Al-Maidah ayat 118, maka beliau mengangkat kedua tangannya seraya mengucapkan:
“Ya Allah, umatku... umatku...” dan beliau pun menangis. Maka Allah berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad -dan Tuhanmu Maha Mengetahui- dan tanyakan kepadanya apa yang menyebabkannya menangis?”
Maka Jibril mendatanginya dan menanyakannya, maka Baginda Rasulullah SAW menceritakan apa yang telah diceritakan, maka Allah menjawab: “Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad dan katakanlah, sesungguhnya Kami akan meridhai umatmu, dan tidak akan berbuat buruk kepada umatmu.”
Harishun ‘alaikum (sense of achievement)
Salah satu tugas bagi seorang pemimpin adalah membangun optimisme dalam jiwa rakyat yang dipimpinnya. Dengan kepemimpinannya, optimisme rakyat tumbuh. Rakyat yakin bahwa pemimpin yang dipilihnya akan mampu membawanya ke arah yang lebih baik.
Harishun ‘alaikum dapat dimaknai sebagai sebuah tekad dan keinginan kuat dari seorang pemimpin untuk memastikan rakyatnya dapat hidup dalam kondisi yang aman dan sentosa. Dalam istilah modern disebut sebagai sense of achievement, yakni semangat untuk menciptakan masyarakat dan bangsa yang berkemajuan.
Sense of achievement ini dituangkan dalam sebuah peta jalan (road map) pembangunan atau bahkan politik yang jelas dan dapat dipahami oleh seluruh komponen bangsa. Dengan demikian rakyat dapat dengan mudah mengetahui bahkan memahami perannya dalam menelusuri peta jalan tersebut.
Pilihlah pemimpin yang memiliki sifat-sifat mulia dan telah dibuktikan melalui rekam jejak kepemimpinannya. (Foto: Ist)
Kisah sukses sense of achievement telah ditunjukkan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam membangun peradaban di kota Madinah. Masyarakat Madinah yang heterogen awalnya hidup bermusuhan. Dengan kepemimpinan Baginda Rasulullah SAW berubah 180o menjadi masyarakat yang hidup penuh dengan kedamaian. Piagam Madinah menjadi salah satu bukti kesuksesan tersebut.
Baginda Rasulullah SAW telah sukses membawa umatnya dari kondisi yang penuh dengan kemusyrikan menjadi mengesakan Allah SWT (tauhid). Dari kekufuran menjadi keimanan, dari kegelapan menjadi penuh cahaya ilmu, dan dari jahiliyah kepada Islamiyah dimana Al-Qur’an menjadi way of life.
Raufurrahiim (sense of affection)
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang menyayangi rakyatnya dan disayangi oleh rakyatnya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai rakyatnya dan dicintai oleh rakyatnya. Dengan rasa sayang dan cinta itulah, pemimpin dan rakyat akan saling membantu dan saling mendo’akan dalam kebaikan.
Pemimpin yang memiliki sifat seperti itu disebut pemimpin yang memiliki sifat raufurrahiim. Sifat seperti ini dalam istilah modern disebut dengan sense of affection, dimana pemimpin tersebut lahir dari rakyatnya, tumbuh dan besar bersama dengan rakyatnya, sehingga memiliki ikatan kasih sayang yang kuat antara rakyat dengan pemimpinnya.
Sense of affection seorang pemimpin dibuktikan lewat kebijakan-kebijakannya yang pro terhadap kepentingan rakyatnya, buka kepada kepentingan pribadi, kelompok, golongan, partai, atau kapitalis tertentu. Dia juga tidak memaksakan kehendaknya jika rakyat tidak setuju dengan kebijakan yang diambilnya.
Keberhasilan Rasulullah SAW dalam menumbuhkan sikap dan rasa kasih sayang di antar umatnya diabadikan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr [59] ayat 9 yang artinya: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin).
Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesulitan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Demikianlah paparan singkat tiga sifat mulia yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin jika dia mengharapkan kesuksesan dalam menjalankan amanahnya sebagai seorang pemimpin.
Dalam konteks pemilihan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), pertanyaannya adalah adakah model pemimpin (capres – cawapres) seperti ini sekarang? Jika ada, maka jangan ragu pilihlah dia. (*)
Pemimpin lahir dari rakyat, tumbuh dan besar bersama dengan rakyat, sehingga memiliki ikatan kasih sayang yang kuat antara rakyat dengan pemimpin. (Foto: Ist)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait