PENULIS : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; & Ketua PCM Pagedangan, Tangerang.
HIDUP TERKADANG tidak semulus seperti yang diharapkan. Manis, senang, gembira, bahagia dan suka cita, tentu itulah yang setiap hari kita harapkan. Namun ternyata pahit, getir, derita, duka dan air mata tak jarang turut serta mewarnai kehidupan kita.
Sebut saja segala sesuatu yang tidak kita harapkan itu sebagai sebuah musibah yang harus kita hadapi dan jalani dalam kehidupan ini. Lantas, apa yang harus kita lakukan ketika musibah itu datang dan menimpa kehidupan kita?
Apakah kita harus menangis meraung-raung, mencaci maki, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan, atau harus bagaimana? Sikap seperti apa yang sesuai dengan tuntunan agama Islam ketika musibah datang?
Sebagai manusia, menangis sewajarnya ketika menerima musibah adalah hal yang sangat manusiawi. Namun demikian, sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki tuntunan yang luar biasa bagi kita termasuk ketika musibah datang.
Mengucapkan Kalimat Istirja, Berdo’a dan Bersabar
Allah SWT menjelaskan bahwa musibah itu bisa berfungsi sebagai cobaan bagi seseorang: “Dan sungguh akan aku berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka akan mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155 – 157).
Langkah pertama yang harus dilakukan pada saat kita menerima musibah atau cobaan adalah mengucapkan kalimat istirja. Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un yang artinya sesungguhnya kami milik Allah, dan sungguh kepada-Nya lah kami akan kembali.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Baginda Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita do’a ketika menerima musibah sebagai berikut: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un. Allahumma ajirni fii mushibati wa akhlif lii khairan minhaa.”
Arti dari do’a di atas adalah: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sungguh kepada-Nya lah kami akan kembali. Ya Allah, karuniakanlah kepadaku pahala dalam musibah yang menimpaku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya.”
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto: Ist)
Ayat dan hadits di atas memberikan motivasi kepada kita agar bersabar dalam menerima musibah yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam hal ini, sabar dapat dimaknai dengan tetap optimis, semangat, dan kuat dalam menghadapi musibah yang dihadapi dalam kehidupan ini.
Introspeksi Diri
Sejatinya, setiap musibah yang datang adalah buah dari perbuatan kita sendiri. Mari kita perhatikan firman Allah SWT yang artinya: “Musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan (Allah) memaafkan banyak (kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura [42]: 30).
Dalam tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan bahwa ayat ini memberikan peringatan kepada kita agar tidak langsung menyalahkan orang lain atau siapa pun tatkala kita menerima sebuah musibah. Yang harus kita lakukan adalah segera melakukan introspeksi diri.
Dengan melakukan introspeksi diri, kita dapat menyadari bahwa bisa saja musibah itu datang dalam kehidupan kita karena kita lalai dan lupa terhadap Allah SWT. Sepertinya musibah itu disebabkan oleh kelalaian orang lain, namun bisa jadi itulah cara Allah mengingatkan kita.
Imam Ibnu Jarir at-Thabari menyatakan bahwa Allah SWT tidak akan menimpakan suatu musibah kepada hamba-Nya yang tidak bersalah. Musibah yang terjadi merupakan bentuk teguran dari Allah SWT agar hamba-Nya kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan perbuatan maksiat.
Adalah mustahil jika Allah SWT mendzalimi hamba-Nya dengan menimpakan musibah dalam kehidupan seseorang. Allah tersucikan dari perbuatan dzalim dan memiliki sifat kasih sayang yang sangat besar. Demikian dikatakan oleh Prof. Dr. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah.
Allah Maha Pemaaf, maka Allah pun memaafkan banyak kesalahan manusia. Andaikan saja Allah SWT tidak banyak memaafkan kesalahan manusia, maka bisa jadi musibah demi musibah yang akan kita jumpai karena kemaksiatan demi kemaksiatan yang kita lakukan.
Ridha dengan Takdir Allah
Sebagai seorang muslim yang beriman, tentu wajib hukumnya untuk mengimani takdir atau ketetapan berupa qadha’ dan qadar dari Allah SWT. Beriman kepada qadha’ dan qadar merupakan rukun iman yang keenam yang wajib diimani oleh setiap orang beriman.
Dengan melakukan introspeksi diri, dapat menyadari bahwa bisa saja musibah itu datang dalam kehidupan karena lalai dan lupa terhadap Allah SWT. (Foto: Ist)
Salah satu bagian dari takdir yang ditetapkan oleh Allah SWT adalah musibah yang dialami oleh manusia. Oleh karenanya, hati yang ridha dengan takdir Allah berupa musibah, adalah salah satu sikap yang mulia ketika musibah datang.
Allah SWT berfirman yang artinya: “Tidak ada sesuatu musibah menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. At-Taghabun [64]: 11).
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan yang dimaksud dengan izin Allah adalah bahwa seluruh musibah yang menimpa manusia adalah takdir dan kehendak-Nya. Barangsiapa sabar dan ridha menerima musibah sebagai takdir Allah, maka Allah akan memberikan petunjuk ke dalam hatinya.
Petunjuk yang diberikan Allah adalah berupa keyakinan bahwa segala sesuatu yang telah ditakdirkan Allah menimpanya, pasti akan menimpa dirinya. Sebaliknya, segala sesuatu yang tidak ditakdirkan menimpanya, maka pasti tidak akan menimpanya. Dengannya, hati menjadi tenang.
Hati yang ridha dengan takdir berupa musibah adalah hati yang mampu menangkap kebaikan (hikmah) di balik musibah. Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR. Bukhari).
Terakhir, mari kita sikapi setiap musibah yang datang dengan sikap yang terbaik sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam. Tiga sikap yang telah dipaparkan di atas adalah contoh sikap terbaik yang dapat kita lakukan ketika musibah datang. Simaklah firman Allah SWT yang artinya:
“Maha Berkah Dzat yang menguasai (segala) kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, yaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67]: 1-2). (*)
Salah satu bagian dari takdir yang ditetapkan oleh Allah SWT adalah musibah yang dialami oleh manusia. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait