Kisah Prajurit TNI Dikepung Fretilin di Malam Takbir, Desing Peluru AK-47 Tak Henti hingga Pagi Hari

Vitrianda Hilba Siregar
Prajurit TNI dalam Operasi Seroja di Timor Timur (Timtim) sekarang bernama Timor Leste. Foto/SINDOnews

JAKARTA, iNewsSerpong.id - Malam takbir menyambut Idul Adha selalu membawa kenangan tentang orangtua kami yang telah meninggal dunia.

"Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd".

Kalimat takbir ini benar-benar membuat penulis mengingat kembali perjuangan ayahanda kami, Amran Hilba Siregar, saat bertugas dalam Operasi Militer Seroja di Timor Timur ketika masih menjadi bagian dari NKRI.

Pada sekitar tahun 1980-1981, ayahanda yang seorang anggota TNI AD mendapat perintah untuk bertugas di Timor Timur, yang kini telah menjadi Timor Leste setelah berpisah dari NKRI.

Pasukan TNI AD disebuah desa di Timor-Timur pada 1981. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Saat itu, penulis masih berusia 8 tahun dan duduk di kelas 2 SD. Bersama penulis, ada 3 adik yang tinggal bersama ibu di sebuah kompleks militer di Kebun Jeruk, Jakarta Barat.

Pada malam takbir tahun 1980, saat semua umat Islam menyerukan takbir, bersuka cita, bercengkrama dengan keluarga, atau bertegur sapa dengan tetangga dan sesama jamaah masjid, ayahanda justru berada dalam situasi yang berbeda.

Di malam takbir itu, seharusnya dia ada di tengah-tengah keluarga sambil menikmati hidangan yang disiapkan. Namun, justru dia bertaruh nyawa dan berusaha untuk selamat. Malam itu, ayahanda bersama beberapa unit pasukan Brimob dikepung habis-habisan oleh pasukan pemberontak Fretilin yang selalu membuat kekacauan di Timor Timur kala itu.

Ayahanda kami dikepung dari segala penjuru mulai malam takbir hingga pagi menjelang, saat umat Islam bersiap menuju masjid atau tanah lapang bersama keluarga untuk melaksanakan Sholat Idul Fitri.

Ayahanda bukanlah anggota TNI AD yang berada dalam kesatuan pasukan batalyon yang dikirim ke sana. Dia adalah anggota TNI AD yang dipercaya negara menjadi anggota Badan Intelijen Strategis (BAIS), sebelumnya bernama Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat).

Dari dialah informasi keberadaan musuh harus didapatkan. Dari dialah kekuatan dan kelemahan pasukan Fretilin harus didapatkan untuk kemudian dilaporkan ke pimpinan. Tanpa laporan intelijen, unit pasukan RI akan sulit mendeteksi dan menghancurkan pemberontak.

Kembali lagi pada malam takbir yang mencekam. Ayahanda dan beberapa pasukan Brimob yang bersamanya tidak dapat bergerak karena dihujani peluru. Desing peluru terus melesat tanpa henti. "Saat peluru itu melesat, sangat jelas warnanya merah terlihat di kegelapan malam," ujar ayahanda suatu ketika menceritakan kembali pengalamannya kepada penulis beberapa waktu lalu.

"Apakah tidak bisa membalas serangan itu, Ayah?" tanya penulis. "Tidak bisa, nak, karena Fretilin sudah menyebar ke mana-mana, mengepung ayah. Suara desing peluru itu terus menghujani lokasi ayah berlindung. Ayah tetap tiarap sepanjang malam hingga pagi menjelang. Yang ayah tahu saat itu adalah malam takbir," ujarnya mengisahkan kembali.

"Jadi Ayah tidak bisa membalas tembakan mereka?" tanya penulis lagi. "Tidak bisa, nak, ayah hanya memegang senjata api jenis revolver, sedangkan mereka pemberontak yang ayah ketahui menggunakan senjata serbu AK-47 buatan Uni Soviet," jawabnya.

"Jadi Ayah tiarap dan berlindung saja tanpa melakukan tembakan balasan?" "Iya nak, sejak mendapat serangan di malam takbiran hingga pagi hari ayah hanya tiarap. Ayah sudah pasrahkan semuanya saat itu kepada Allah Ta'ala."

Pada pagi harinya, setelah mulai terang, unit pasukan penolong datang menggunakan helikopter, membantu dan membalas menyerang pemberontak dengan ratusan butir peluru tajam. Tak butuh waktu lama, pemberontak kocar-kacir. Balasan tembakan dari pemberontak pun tak ada lagi. Situasi pun menjadi tenang dan semua selamat.

Kisah ini bukan hanya tentang keberanian dan keteguhan hati seorang prajurit TNI, tetapi juga tentang pengorbanan dan dedikasi yang luar biasa.

Malam takbir yang penuh desing peluru menjadi simbol pengorbanan para prajurit Indonesia yang bertugas di medan perang, menunjukkan bahwa mereka siap mengorbankan segalanya demi menjaga keamanan dan kedaulatan negara. Kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya perdamaian dan penghargaan terhadap mereka yang berjuang di garis depan.

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network