Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang
AKHIR-AKHIR ini kita dipertontonkan berbagai perilaku pengelola negara yang tak pantas ditiru oleh anak bangsa. Luar biasanya lagi, tak tampak rasa penyesalan dan rasa malu dari pelaku. Walaupun, rasa malu itu hanya untuk sekedar sandiwara belaka.
Sungguh ironi memang di negeri kita yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Seolah-olah para pelaku tidak menyadari keberadaan Tuhan, sehingga tak ada lagi rasa malu dan penyesalan di dalam dirinya.
Santai saja, toh semua manusia pasti pernah berbuat dosa. Terlebih lagi bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat pemaaf, sehingga mudah memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain.
Manusia Tempatnya Lupa dan Salah
Mungkin itu alasan dan kesan yang ingin disampaikan kepada publik. Sehingga, alih-alih rasa penyesalan dan rasa malu yang tampak, justru sebaliknya, yang tampak di hadapan publik adalah rasa senang dan ucapan syukur atas hukuman yang diterimanya.
Memang, manusia adalah tempatnya lupa dan salah. Oleh karena itu, tidak ada satu pun manusia yang terbebas dari salah dan dosa selama hidupnya. Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Semua bani Adam pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang segera bertaubat.” (HR. Ibnu Majah).
Namun demikian, janganlah menjadikan hadits tersebut sebagai alasan atau pembenaran atas perbuatan dosa yang kita lakukan. Jangan pula kita berlindung di balik hadits tersebut tatkala kita terbukti melakukan perbuatan dosa.
Terlebih lagi bagi para pejabat negara yang diamanahi tugas sebagai pengelola negara sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, tentu segala gerak-geriknya harus benar-benar dijaga agar terjaga pula marwah diri dan negaranya.
Bagi anda wahai para pejabat negara, ketahuilah bahwa semakin tinggi jabatan yang anda pegang, maka semakin besar pula godaan yang akan anda hadapi. Jabatan laksana sebuah pohon, dimana semakin tinggi sebuah pohon maka akan semakin kencang angin menerpanya.
Sadari pula bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dan dilaksanakan sesuai dengan janji yang diucapkan. Berhati-hatilah, tatkala anda tidak amanah dan melanggar janji yang anda ucapkan, ditambah lagi dengan perkataan dusta, maka berarti anda telah menjadi orang munafik.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto: Ist)
Baginda Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas merupakan sebuah peringatan, bahwa jika ada seseorang yang memiliki karakter seperti tersebut di atas, maka hendaknya kita waspada dan jangan jadikan dia sebagai seorang pemimpin, pejabat, atau pengelola negara.
Sekedar mengingatkan saja, bahwa sebentar lagi kita akan melakukan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Belajar dari carut-marutnya para pengelola negara yang terjadi saat ini, maka kita harus lebih selektif dalam memilih pasangan calon Kepala Daerah periode 2024-2029.
Jadikan hadits di atas sebagai panduan untuk menyeleksi setiap pasangan calon Kepala Daerah yang ditawarkan oleh partai maupun pasangan calon independen. Perhatikan rekam jejaknya, partai pengusungnya, dan ada siapa di belakang pasangan calon Kepala Daerah tersebut.
Jangan sampai kita salah pilih. Betapa bahayanya jika kita memilih orang munafik sebagai pemimpin atau pejabat negara. Bagaimana tidak bahaya, Allah Ta’ala saja mereka tipu, apalagi masyarakat atau warga negaranya.
Perhatikan firman Allah Ta’ala yang artinya: “Di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir”, padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang mukmin. Mereka menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.” (QS. Al-Baqarah [2]: 8-9).
Terkait ayat di atas, dalam tafsir Al Muharrar Al Wajiz karya Ibn ‘Athiyyah dijelaskan bahwa kelompok orang-orang yang menyatakan sesuatu namun sesungguhnya tidak lahir dari dalam hati nuraninya, kelompok ini jauh lebih berbahaya daripada yang terang-terangan menolak kebenaran (kafir). Mereka seperti kawan padahal sesungguhnya mereka adalah lawan.
Selanjutnya Ibn ‘Athiyyah menjelaskan bahwa mereka menduga dengan mengatakan seperti itu telah berhasil menipu Allah dan menganggap Allah tidak mengetahui rahasia yang mereka sembunyikan. Perbuatan buruk yang mereka lakukan itu, cepat atau lambat akan kembali kepada mereka sendiri.
Meraih jabatan sebuah perjuangan. Jabatan laksana sebuah pohon, semakin tinggi sebuah pohon maka akan semakin kencang angin menerpanya. (Foto: Ist)
Carut-marut pengelola negara yang kita saksikan saat ini, adalah bukti nyata dari perbuatan yang dilakukan kelompok orang-orang munafik yang telah diberikan amanah oleh rakyatnya untuk mengelola bangsa dan negara ini.
Betapa Allah Ta’ala telah menunjukkan bukti sebagai peringatan dan pelajaran kepada kita, bahwa jika kita salah dalam memilih dan menitipkan amanah, maka bersiaplah kehancuran yang akan terjadi terhadap bangsa dan negara ini.
Sandiwara kasus Vina yang lebih seru daripada filmnya, kongkalikong Ketua KPK dengan tersangka, perbuatan asusila Ketua KPU, korupsi para Kepala Daerah dan pejabat penyelenggara negara lainnya, adalah beberapa perbuatan nyata orang munafik yang terbaca secara kasat mata.
Belum lagi keterlibatan aparat dalam berbagai perbuatan maksiat. Keterlibatan aparat ini membuat tumbuh subur tempat-tempat dan pelaku maksiat di mana-mana. Keprihatinan kita bertambah lagi dengan terungkapnya ada lebih dari 1000 orang anggota legislatif yang bermain judi online.
Sebagai masyarakat biasa, perasaan sedih, miris, marah, kesal, kecewa, dan entah perasaan apa lagi, berkecamuk di dalam dada. Namun demikian, kondisi carut-marut pengelola negara ini harus segera diakhiri.
Mungkin akan ada yang mengatakan ini adalah buah dari sistem demokrasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Silakan saja. Namun sejatinya, apa pun sistem yang digunakan, semuanya akan kembali kepada kualitas personal yang menjalankan sistem tersebut.
Baginda Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya: “Bagaimana maksud amanat disia-siakan?” Nabi menjawab: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari).
Momentum Pilkada serentak adalah salah satu momentum yang tepat bagi kita untuk menghentikan carut-marut ini. Sekali lagi, jangan pilih pasangan calon Kepala Daerah yang terindikasi bersifat munafik, tetapi pilihlah yang rekam jejak keimanannya jelas, jujur (shiddiq), amanah, cerdas (fathanah), dan berani menyampaikan kebenaran (tabligh).
Dengan cara seperti ini, setidaknya kita telah berupaya untuk mewujudkan kepemimpinan di daerah yang lebih baik. Jika mayoritas para pemimpin daerah baik, maka akan mendorong terciptanya kepemimpinan nasional yang juga baik, sehingga carut-marut pengelola negara yang seperti saat ini terjadi, akan dapat diakhiri. (*)
Momentum Pilkada serentak adalah salah satu moment yang tepat bagi kita untuk menghentikan carut-marut pengelola negara. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait