JAKARTA, iNewsSerpong.id - KH Hasyim Asy'ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Pahlawan nasional ini lahir pada 14 Februari 1871 dan wafat pada 25 Juli 1947 di Jombang, Jawa Timur. Anak ketiga dari 11 bersaudara, putra pasangan Kiai Asy'ari dan Nyai Halimah.
KH Hasyim Asy'ari dikenal memiliki semangat besar dalam menuntut ilmu, yang membuatnya berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain di Jawa Timur. Menariknya, kakek dari Presiden keempat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini pernah menolak tawaran Jepang untuk menjadi presiden Indonesia.
Menurut laman NU Online, Kamis (25/7/2024), KH Hasyim Asy'ari tidak hanya belajar di Jawa, tetapi juga melanjutkan pendidikannya ke Makkah. Pada suatu waktu, ia pergi haji ke Tanah Suci bersama istrinya, Khadijah, dan mertuanya, KH Yaqub. Namun, Khadijah meninggal setelah melahirkan putra pertamanya, yang menyebabkan Hasyim pulang ke Indonesia.
Mengajar di Masjidil Haram
Dalam Ensiklopedia NU Jilid 2, disebutkan bahwa KH Hasyim kembali ke Makkah dan bermukim selama tujuh tahun untuk belajar dari berbagai ulama hingga dipercaya mengajar di Masjidil Haram.
Beberapa ulama tersebut berasal dari Nusantara, seperti Syekh Mahfudz Termas dan Syekh Khatib Minangkabau, serta dari wilayah lain seperti Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, dan Sayyid Sulthan Hasyim Ad-Daghistani.
Sepulang ke Indonesia, KH Hasyim mendirikan pondok pesantren di Tebuireng, Jombang, yang semakin hari semakin banyak diminati santri. Selain berkontribusi di dunia pendidikan, KH Hasyim juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan, sehingga menjadi sosok ulama yang dihormati pada masanya.
Kehebatan KH Hasyim membuat banyak tokoh dan masyarakat datang kepadanya untuk meminta petunjuk dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk agama dan politik kebangsaan.
Sebagaimana catatan harian tokoh Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) Maruto Nitimihardjo, pengaruh KH Hasyim bahkan menarik perhatian Jepang.
Dalam buku Hadratussyaikh, Komitmen Keumatan dan Kebangsaan (2010) karya Zuhairi Misrawi, KH Salahuddin Wahid atau Gus Salah menceritakan bahwa Jepang pernah menawarkan jabatan presiden kepada KH Hasyim melalui utusan mereka, Maruto Nitimihardjo. Namun, KH Hasyim menolak tawaran tersebut dengan alasan tugasnya untuk mendidik santri di pesantren.
Gus Salah menjelaskan bahwa meskipun Jepang ingin mengetahui dukungan KH Hasyim terhadap calon presiden, sang kiai menilai bahwa tokoh yang paling cocok untuk menjadi presiden adalah Ir Soekarno atau Bung Karno, dengan M Hatta atau Bung Hatta sebagai wakilnya, berdasarkan pandangan putranya, KH Abdul Wachid Hasyim. (*)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait