Operasi Zebra 2025 dan Wajah Polisi Lalu Lintas Kita

Penulis : Syahrir Rasyid
Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri gelar Operasi Zebra hingga 30 November 2025. (Foto: Ist)

OPINI: Oleh Syahrir Rasyid, Pimpinan Redaksi iNewsSerpong 

OPERASI ZEBRA kembali digelar Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri hingga 30 November 2025. Seperti biasa, polisi akan menindak tegas berbagai pelanggaran lalu lintas yang dianggap paling sering memicu kecelakaan.

Namun, lebih dari sekadar penegakan hukum, Operasi Zebra sejatinya adalah upaya membenahi budaya lalu lintas kita—budaya yang masih rapuh dan mudah tergelincir antara disiplin dan pelanggaran.

Kabag Ops Korlantas Polri, Kombes Aries Syahbudin, mengingatkan bahwa inti operasi ini bukan hanya soal surat tilang, tetapi tentang kesadaran bersama.

“Operasi Zebra bukan semata penegakan hukum, tetapi upaya meningkatkan kesadaran agar masyarakat selamat di jalan raya,” ujarnya.

Sulit dipungkiri, penegakan hukum di jalan raya memang tidak mudah. Masalahnya bukan semata jumlah pelanggar, tetapi kepercayaan publik yang rendah pada polisi lalu lintas (Polantas).

Di benak sebagian masyarakat, tilang sering dianggap bisa “diatur”, meski tentu tidak semua polisi seperti itu.

Setiap pengguna jalan pasti punya ceritanya sendiri saat berhadapan dengan Polantas. Ada yang positif, banyak pula yang negatif.

Saya ingat pengalaman sebelum pandemi Covid-19. Siang hari di Jalan Raya Serpong, mobil yang saya tumpangi diberhentikan polisi. Pelanggaran sederhana: angka pelat nomor sedikit bergeser. Tetap salah, tentu saja.

Polisi mulai membuka buku tilang. Saya meminta lembar biru, agar bisa membayar denda resmi di bank tanpa perlu sidang. Namun polisi terlihat ragu dan mengarahkan pada lembar merah sambil berjanji, “Nanti kami bantu, Pak.”

Di Polsek BSD City, tumpukan slip merah tampak menggunung. Denda Rp 500.000 yang seharusnya menjadi konsekuensi resmi, tiba-tiba berubah menjadi Rp 300.000 “tanpa sidang”.

Di sinilah hadir masalah klasik: permainan antara oknum Polantas dan pelanggar lalu lintas—dua belah pihak sama-sama membuka peluang.

Citra Polantas dan Realita Lapangan

Tidak ada institusi yang interaksinya sedekat Polantas dengan masyarakat. Setiap hari, setiap jam, mereka bertemu pengendara. Dalam situasi seperti ini, satu keluhan kecil bisa mengembang menjadi stigma besar.

Bila satu oknum minta “uang rokok”, publik akan menyimpulkan: “Polantas memang begitu!”

Tekanan di lapangan berat, godaan besar, dan prosedur yang kadang multitafsir membuat situasi semakin kompleks. Di sisi sebaliknya, publik menuntut Polantas untuk selalu benar, selalu ramah, selalu cepat, dan tidak pernah salah.

Ekspektasi setinggi itu sering bertabrakan dengan realitas di lapangan, menghasilkan jurang kekecewaan.

Namun tetap tak adil jika semua Polantas dianggap “nakal”. Banyak yang jujur, sabar, dan profesional. Hanya saja, satu video negatif di media sosial cukup untuk menghancurkan citra seluruh institusi.

Tidak semua kesalahan ada di pundak Polantas. Banyak pelanggar lalu lintas justru mengajak polisi “damai”. Dari sini, perilaku tidak patut menjadi kebiasaan. Semakin dibiasakan, semakin dianggap normal.

Media sosial memperparah kondisi ini: satu video viral mampu memukul reputasi lembaga tanpa melihat konteks, fakta, atau skala masalahnya.

Editor : Syahrir Rasyid

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network