Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul " Halal dan Haram dalam Islam " menjelaskan Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan selalu terjun dalam suatu realita, mendidik dan menjauhkan dari sikap teledor dan bermalas-malas.
"Begitulah yang kami saksikan dengan gamblang dalam hubungannya dengan masalah poligami," ujarnya. "Dengan menitikberatkan demi kepentingan manusia, baik secara individual maupun masyarakat, Islam membolehkan kawin lebih dari seorang," lanjutnya.
Kebanyakan umat-umat dahulu dan agama-agama sebelum Islam membolehkan kawin tanpa batas yang kadang-kadang sampai sepuluh orang wanita, bahkan ada yang sampai seratus dan beratus-ratus tanpa suatu syarat dan ikatan. Maka setelah Islam datang, perkawinan lebih dari seorang ini diberinya batas dan bersyarat.
Batas maksimalnya ialah empat, seperti riwayatnya Ghailan:
"Sesungguhnya Ghailan ats-Tsaqafi telah masuk Islam dan mempunyai sepuluh istri, kemudian Nabi berkata kepadanya: Pilihlah empat di antara mereka itu, dan cerailah yang lain." (HR Ahmad, Syafi'i, Tarmizi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni dan Baihaqi)
Sementara ada juga yang mempunyai istri delapan dan ada juga yang lima. Semuanya itu diperintahkan oleh Nabi supaya memilih empat saja.
Adapun kawinnya Nabi sampai sembilan orang itu, menurut al-Qardhawi, adalah khususiyah buat Nabi karena ada suatu motif dakwah dan demi memenuhi kepentingan umat kepada istri-istri Nabi itu sepeninggal beliau.
Harus AdilAl-Qardhawi menekankan syarat yang ditentukan Islam untuk poligami ialah terpercayanya seorang muslim terhadap dirinya, bahwa dia sanggup berlaku adil terhadap semua istrinya baik tentang soal makannya, minumnya, pakaiannya, rumahnya, tempat tidurnya maupun nafkahnya.
Siapa yang tidak mampu melaksanakan keadilan ini, maka dia tidak boleh kawin lebih dari seorang. Allah SWT berfirman: "Jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja." (QS an-Nisa': 3)
Rasulullah SAW juga bersabda, "Barangsiapa mempunyai istri dua, tetapi dia lebih cenderung kepada yang satu, maka nanti di hari kiamat dia akan datang menyeret salah satu lambungnya dalam keadaan jatuh atau miring." (HR Ahlulsunan, Ibnu Hibban dan al-Hakim)
Al-Qardhawi menjelaskan yang dimaksud cenderung atau condong yang diancam oleh hadis tersebut, ialah meremehkan hak-hak istri, bukan semata-mata kecenderungan hati. "Sebab kecenderungan hati termasuk suatu keadilan yang tidak mungkin dapat dilaksanakan," ujarnya.
Oleh karena itu Allah memberikan maaf dalam hal tersebut. Seperti tersebut dalam firmanNya: "Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil antara isteri-isterimu sekalipun kamu sangat berkeinginan, oleh karena itu janganlah kamu terlalu condong." (QS an-Nisa': 129)Dalam hal ini Rasulullah SAW membagi atau menggilir dan melaksanakan keadilannya, kemudian beliau berdoa: "Ya Allah! Inilah giliranku yang mampu aku lakukan. Maka janganlah Engkau siksa aku berhubung sesuatu yang Engkau mampu laksanakan tetapi aku tidak mampu melaksanakan." (HR Ashabussunan)
Yakni sesuatu yang tidak mampu dikuasai oleh hati manusia dan sesuatu kecenderungan kepada salah satu isterinya.
Al-Qardhawi mengatakan Nabi sendiri kalau hendak bepergian, ia mengadakan undian. Siapa mendapat bagiannya, dialah yang nanti akan diajak pergi oleh Nabi. Beliau bersikap demikian demi menjaga perasaan dan tercapainya persetujuan oleh semuanya. (*)
Editor : Syahrir Rasyid