Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
SIKAP hidup individualis kini semakin meluas dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat kita. Tak heran jika kini antar tetangga tidak tegur sapa bahkan tidak mengenal satu dengan yang lainnya.
Sikap seperti ini, jika dibiarkan akan sangat mungkin menimbulkan sikap asosial yang sejatinya bertentangan dengan karakter asli manusia sebagai makhluk sosial. Dengan adanya sikap individualis, karakter asli manusia sebagai makhluk sosial pun makin terkikis.
Lebih menyedihkannya lagi sikap individualis ini pun merambah kepada ketaatan seseorang dalam beribadah. Banyak orang yang memilih taat beribadah, namun implementasi nilai-nilai dari ibadahnya tersebut di masyarakat tidak nampak.
Padahal, seluruh ajaran Islam jika diamalkan, tidak hanya membuat pelakunya menjadi shalih secara individual, namun juga shalih secara sosial. Muslim yang shalih sosial adalah muslim yang keshalihan individualnya bertransformasi menjadi rahmat bagi lingkungan sekitar dan seluruh alam.
Dalam sebuah hadits yang sudah sangat populer di tengah-tengah ummat muslim, Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits di atas maka sejatinya ukuran kebaikan seseorang di sisi Allah diukur dari kebermanfaatan orang tersebut bagi lingkungannya. Hadits ini juga menegaskan bahwa tidak cukup bagi seseorang untuk menjadi manusia terbaik dengan hanya bermodalkan keshalihan secara individual.
Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Oleh karenanya, setiap jenis ibadah yang diajarkan dalam Islam, jika ibadah tersebut dijalankan dengan baik dan benar, maka ibadah tersebut akan mengantarkan pelakunya juga menjadi rahmat bagi semesta alam.
Mari kita lihat fakta di dalam Al Qur’an. Misalkan saja shalat sebagai ibadah ritual, kita jadikan sebagai simbol ibadah yang bersifat vertikal langsung kepada Allah SWT. Di dalam Al Qur’an, disebutkan sebanyak 17 kali.
Sementara itu, zakat sebagai simbol ibadah horizontal kepada sesama manusia, disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 30 kali. Sedekah disebutkan sebanyak 12 kali. Jika digabungkan dengan perintah infak, memberi makan orang miskin, serta ibadah yang berdimensi sosial lainnya, maka jumlahnya mencapai 60 kali.
Ini bukanlah sebuah kebetulan belaka. Ini adalah tanda penuh makna, yakni Islam adalah agama yang tidak hanya mementingkan ibadah ritual, vertikal, dan keshalihan individual. Islam adalah agama yang menuntut kepada pemeluknya untuk mentransformasi ibadah ritual, vertikal, dan keshalihan individualnya menjadi keshalihan sosial.
Mari kita lihat firman Allah dalam Al Qur’an surat Al-Ankabut ayat 45 yang artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Pada ayat di atas, sekali pun shalat diidentikkan dengan ibadah vertikal, namun ternyata jika dilaksanakan dengan baik dan benar, maka shalat akan mampu mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar. Hal ini menegaskan kembali bahwa Islam menuntut agar seluruh nilai-nilai ibadah diimplementasikan di dalam kehidupan sehari-hari.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : Dok Pribadi)
Keshalihan individual seyogyanya seiring dan sejalan dengan keshalihan sosial. Tidak cukup shalih secara individual saja, dan tidak cukup pula hanya shalih secara sosial. Kedua-duanya harus ada pada diri seorang muslim.
Contoh sikap seorang muslim yang shalih secara individual dan sosial sejati adalah tatkala seorang muslim mampu melindungi orang lain dari keburukan yang disebabkan oleh lisan dan tangannya. Sebagaimana sabda Baginda Rasulullah SAW yang artinya: “Muslim itu adalah yang muslim lainnya terjaga dari keburukan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari).
Contoh lainnya adalah dalam kehidupan bertetangga. Keshalihan sosial dijadikan sebagai ukuran keimanan seorang muslim oleh Baginda Rasulullah SAW. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Hakim, Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim tidak beriman jika ia kekenyangan sedangkan tetangganya kelaparan.”
Dalam hadits yang lain, diceritakan bahwa Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman.” Para sahabat bertanya: “Siapa yang tidak beriman ya... Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dia yang tidak menjaga tetangganya dari musibah.” (HR. Bukhari).
Kedua hadits di atas menegaskan bahwa keimanan kita bisa menjadi tidak sempurna disebabkan oleh ketidakpedulian kita kepada tetangga. Sungguh sebuah ajaran Islam yang kini makin langka dipraktikkan oleh ummat Islam sendiri, terutama di kota-kota besar.
Terakhir, mari kita renungkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad sebagai berikut:
Dikisahkan bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah berdiskusi dengan para sahabatnya tentang definisi orang yang merugi atau bangkrut.
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?” tanya Baginda Rasulullah SAW.
Para sahabat menjawab orang yang bangkrut adalah mereka yang tidak memiliki dirham maupun dinar. Ada juga yang berpendapat mereka yang rugi dalam perdagangan.
Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang bangkrut dari ummatku ialah mereka yang datang (kepada Allah) pada hari kiamat dengan membawa banyak pahala shalat, zakat, dan haji. Akan tetapi (di dunia) ia telah mencaci orang lain, menyakiti orang lain, memakan harta orang lain (secara bathil), menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Ia kemudian diadili dengan cara membagi-bagikan pahalanya kepada orang yang pernah didzaliminya. Sampai jika pahalanya telah habis, sementara masih ada orang yang menuntutnya, maka kesalahan (dosa) orang yang menuntutnya diberikan kepadanya. Akhirnya, ia pun dilemparkan ke dalam neraka.”
Sungguh mengerikan bukan?
Kita bisa menjadi orang yang bangkrut di negeri akhirat pada saat hari kiamat. Pahala yang sudah dikumpulkan dari berbagai ibadah yang dilakukan, bukan digunakan untuk mendapatkan kenikmatan negeri akhirat, justru malah digunakan untuk membayar “denda” akibat dari sikap kita yang tidak mampu menjadi pribadi yang shalih secara sosial.
Inilah dampak dari kegagalan dalam mentransformasi keshalihan individual menjadi keshalihan sosial. Oleh karenanya, mari kita berusaha untuk senantiasa mentransformasi keshalihan individual kita menjadi keshalihan sosial. Mari kita berusaha untuk menjadi pribadi-pribadi yang tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, namun juga bagi orang lain dan lingkungan sekitar. (*)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid