JAKARTA, iNewsSerpong.id - Kiai Haji Masdar Farid Mas'udi menjelaskan sumber pengetahuan tentang asbab al-nuzul diperoleh dari penuturan para Sahabat Nabi . Nilai berita itu sendiri sama dengan nilai berita-berita lain yang menyangkut Nabi dan Kerasulan Beliau, yaitu berita-berita Hadis. Karena itu bersangkut pula persoalan kuat dan lemahnya berita itu, shahih dan dha'if; serta otentik dan palsunya.
Dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "Konsep Abab Al-Nuzul, Relevansinya bagi Pandangan Historisis Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan", Rais Syuriyah PBNU ini menjelaskan semua ini menjadi wewenang cabang ilmu kritik hadis (ilmu tajrih dan ta'dil) para ahli.
"Seperti halnya persoalan hadis pada umumnya, penuturan atau berita tentang suatu sebab turunnya wahyu tertentu juga dapat beraneka ragam, sejalan dengan keaneka ragaman sumber berita. Maka tidak perlu lagi ditegaskan bahwa informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap kritis," jelasnya.
Sebagai misal ialah berita tentang sebab turunnya firman dalam QS al-Baqarah ayat 115. Allah SWT berfirman:
وَلِلّٰهِ الۡمَشۡرِقُ وَالۡمَغۡرِبُ ۚ فَاَيۡنَمَا تُوَلُّوۡا فَثَمَّ وَجۡهُ اللّٰهِؕ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ
Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. ( QS Al-Baqarah : 115)
Berdasarkan penuturan Jabil ibn 'Abd-Allah, al-Wahidi al-Nisaburi menerangkan tentang adanya beberapa versi lain tentang sebab turunnya firman terrsebut, sehingga implikasinya juga dapat menyangkut beberapa situasi yang berbeda.
Pertama, berdasarkan penuturan Abd 'l-Lah ibn 'Umar, seseorang boleh melakukan sholat sunnah kemanapun di atas kendaraannya. Tapi firman itu juga menegaskan bahwa sembahyang menghadap ke manapun dalam keadaan darurat, apalagi jika sembahyang itu bukan sembahyang wajib, melainkan sunnah, tidaklah menjadi persoalan. Sebab yang penting ialah nilai sholat itu sendiri sebagai tindakan mendekatkan diri kepada Allah dan mengasah jiwa untuk lebih bertakwa kepada-Nya.
Menghadap kiblat yang telah ditentukan, yaitu al-Masjid al-Haram di Mekkah, sekalipun dalam keadaan normal diwajibkan, tidaklah menyangkut sebenarnya nilai sholat itu.
Kiblat itu hanya sebagai lambang orientasi hidup yang benar dan konsisten serta kesatuan orientasi itu antara seluruh umat Islam sedunia. Kita sendiri mengetahui betapa efektifnya simbolisasi kiblat ini, dengan dampak kesamaan yang menakjubkan antara seluruh kaum muslim di muka bumi ini dalam hal peribadatan.
Kalangan bukan Islam biasanya merasa heran, mungkin tidak akan dapat mengerti, mengapa terdapat kesamaan yang demikian besar dan jauh di antara seluruh umat Islam di dunia dalam hal sholat dan peribadatan lain.
Menurut Kiai Masdar, dalam agama lain, perbedaan sangat terasa dari sekte ke sekte lain, juga dari bangsa atau negeri ke bangsa atau negeri lain meskipun dari satu sekte.
Walaupun kiblat sebagai lambang persatuan dan kesamaan itu demikian pentingnya, kata Kiai Masdar, namun berdasarkan firman Allah yang menegaskan bahwa kemanapun kita menghadapkan wajah kita maka di sanalah wajah Allah, tidaklah dibenarkan adanya tekanan yang serba mutlak atas kewajiban menghadapkan wajah ke Mekkah, sebab tekanan serupa itu akan membawa kepada sikap lebih mementingkan lambang atau simbol daripada isi atau makna.
Meskipun lambang dan makna harus ada secara serentak, namun dari ayat suci itu jelas sekali bahwa segi makna adalah lebih penting daripada segi lambang.
Kedua, berdasarkan penuturan 'Abd 'l-Lah ibn 'Abbas, ayat suci di atas itu turun berkenaan dengan adanya pertanyaan kepada Nabi, mengapa mereka diperintahkan untuk melakukan shalat jenazah bagi Raja Najasyi (Negus) dari Abessinia (Habasyah, Ethiopia), yang semasa hidupnya (sebagai seorang Kristen) bersembahyang menghadap kiblat yang berbeda dengan kiblat mereka sendiri, kaum Muslim.
Najasyi adalah raja Habasyah yang besar sekali jasanya kepada Nabi, kaum muslim dan agama Islam, karena perlindungan yang diberikannya kepada para pengikut Nabi yang berhijrah ke negeri itu untuk menghindar dari penyiksaan kaum musyrik Mekkah.
Perlakuan yang amat simpatik kepada kaum muslim dan sikapnya yang penuh pengertian kepada ajaran Islam yang menyebabkan turunnya firman Allah yang lain, yang menegaskan bahwa sedekat-dekat umat manusia dalam rasa cintanya kepada kaum muslim ialah "mereka yang berkata, "Kami adalah orang-orang Nasrani" ( QS al-Maidah/6 :82).
Dan Nabi dalam memerintahkan sahabat beliau untuk melakukan sholat jenazah bagi Najasyah menggambarkan raja Habasyah itu sebagai "saudara" kaum beriman.
Menurutu Kiai Madar, dari balik pertanyaan sementara Sahabat di atas itu dapat diketahui dengan jelas bahwa sekalipun Najasyi adalah seorang Kristen, namun Nabi memerintahkan mereka berdoa baginya, mengingat jasa-jasanya yang besar itu.
Firman Allah yang terkait itu, menurut versi penuturan ashab al-nuzul ini, menegaskan bahwa masalah kemanapun orang menghadap dalam sembahyang bukanlah perkara penting. Yang penting ialah sikap batin yang ada dalam dada. Sebab, seperti difirmankan di tempat lain, setiap kelompok manusia mempunyai arah (wijhah) ke mana mereka menghadap atau berorientasi.
Umat manusia dalam orientasi yang berbeda-beda itu hendaknya berlomba menuju kepada berbagai kebaikan, tanpa terlalu banyak mempersoalkan perbedaan antara mereka. Lengkapnya, firman Allah itu, terjemahnya, kurang lebih adalah demikian:
"Dan bagi setiap (kelompok manusia) ada arah (wijhah) yang kepadanya kelompok itu menghadap. Maka berlomba-lombalah kamu sekalian untuk berbagai kebaikan. Di (kelompok) manapun kamu berada, Allah akan mengumpulkan kamu semua. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." ( QS al-Baqarah/2 :148).
Menurut Kiai Masdar, firman Allah tentang "timur dan barat" tersebut di atas mempunyai kemungkinan implikasi dan aplikasi yang luas.
Ketiga, tentang sebab turunnya firman itu menyangkut kaum Yahudi Madinah. Menurut penuturan ibn Abi Thalhah, ketika Nabi dengan izin Allah mengubah kiblat sembahyang dari arah Yerusalem menjadi ke arah Mekkah, kaum Yahudi bertanya-tanya, mengapa ada perubahan yang mengesankan sikap tidak teguh dalam beragama serupa itu?!
Maka firman Allah tersebut dimaksudkan untuk menampik ejekan kaum Yahudi dan menegaskan bahwa perkara arah menghadap dalam sembahyang bukanlah sedemikian prinsipilnya sehingga harus dikaitkan dengan permasalahan nilai keagamaan yang lebih mendalam seperti keteguhan atau konsistensi (istiqamah) sebagai ukuran kesejatian dan kepalsuan. Sebab akhirnya semua penjuru angin, seperti barat dan timur, adalah milik Allah semata, tanpa kelebihan nilai salah satu atas yang lain.
Masdar F Masudi mengatakan berkenaan dengan masalah itu bahkan turun firman yang menegaskan bahwa kebaikan tidaklah diperoleh hanya menghadapkan muka ke arah timur ataupun barat, melainkan karena hal-hal yang lebih sejati seperti iman kepada Allah yang selalu hadir (omnipresent) dalam hidup manusia sehari-hari, percaya kepada adanya pertanggungjawaban pribadi mutlak di Hari Kemudian (Akhirat), dan berbuat kepada sesama manusia dan makhluk untuk dibawa ke Hadirat Tuhan di Akhirat nanti.
Lengkapnya, firman berkenaan dengan masalah kiblat ini, terjemahnya adalah demikian:
"Bukanlah kebaikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah timur atau barat. Tetapi kebaikan ialah jika orang beriman kepada Allah, Hari Kemudian, para Malaikat, Kitab Suci dan para Nabi; dan jika orang mendermakan hartanya, betapapun cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, yatim piatu, orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, para peminta-minta, guna membebaskan budak; juga jika orang menegakkan sembahyang dan mengeluarkan zakat; serta mereka yang menepati janji jika mereka berjanji, dan tabah dalam menghadapi penderitaan dan kesusahan, serta dalam masa-masa sulit. Mereka itulah orang-orang yang benar (sejati dalam kebaikan), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. ( QS al-Baqarah/2 :177).
Para ulama telah menuangkan masalah asbab al-nuzul ini dalam berbagai karya ilmiah yang kini menjadi rujukan para ahli. (*)
Editor : Syahrir Rasyid