JAKARTA, iNewsSerpong.id - Menikah tapi keduanya suami istri tidak mau punya anak atau child free saat ini banyak muncul di tengah-tengah masyarakat.
Istilah child free itu sendiri muncul pada akhir abad ke-20. Konsep ini memang konsep pernikahan nyeleneh.
"Kami yakin secara umum yang menikah ingin memiliki keturunan. Yang sampai lima tahu menikah hingga ada yang sepuluh tahun tetap mendambakan buah hati. Karena menikah itu yah untuk meneruskan keturunan. Kita tahu sendiri manfaat memiliki keturunan itu untuk apa, ada amal jariyah yang diharapkan dari anak saleh, ada penerus kebaikan kita, ada harta yang bisa diwariskan, hingga anak-anak yang bisa merawat di waktu tua," ujar Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal dalam akun Instagramnya@mabduhtuasikal ditulis belum lama ini.
Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal mengingatkan sebagai Muslim jika ikut gaya hidup childfree ini maka patut dipertanyakan. Ini ikut ajaran Nabi Muhammad?
Semoga Allah beri taufik dan hidayah untuk penulis dan semua pembaca. Semoga yang belum memiliki keturunan segera mendapatkannya. Allah pasti beri yang terbaik.
Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal menjelaskan para pendukung gaya hidup childfree (seperti Corinne Maier, Penulis asal Paris dalam bukunya “No Kids: 40 Reasons For Not Having Children”) mengutip beragam alasan untuk tidak memiliki anak, di antaranya adanya masalah kesehatan, termasuk kelainan genetik, masalah finansial.
Lalu, kurangnya akses untuk mendukung jaringan dan sumber daya, ketakutan bahwa aktivitas seksual akan berkurang, ketakutan akan perubahan fisik akibat kehamilan, childbirth experience, dan masa pemulihan (misalnya berkurangnya daya tarik fisik).
Lantas karena alasan orientasi karir serta adanya keyakinan akan kondisi bumi yang terus memburuk ke arah negatif sehingga menolak untuk membawa seorang anak ke dalam situasi yang kian memburuk tersebut (global warming effects, perang, kelaparan, overpopulation, pollution, dan kelangkaan sumber daya alam). Segala peristiwa buruk tersebut dapat membawa anak hidup dalam penderitaan hingga kematian.
Serta kesadaran akan ketidakmampuannya untuk menjadi orangtua yang sabar dan bertanggung jawab, dan masih banyak alasan-alasan lainnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta