Oleh Dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA
Berbicara mengenai ibu tidak pernah ada habis-habisnya. Ada saja yang bisa dibahas mengenai sosok makhluk Tuhan yang satu ini. Sukanya maupun dukanya selalu menjadi hal yang menarik untuk disimak, khususnya di Hari Ibu yang selalu diperingati oleh masyarakat Indonesia setiap tanggal 22 Desember.
Sebagai seorang dokter kanker anak, saya banyak melihat bagaimana seorang ibu berjuang mati-matian untuk anaknya agar dapat memperoleh pengobatan yang terbaik. Mungkin kita dapat melihat sosok public figure Denada yang anaknya terkena leukemia atau kanker darah. Ia sampai membawa anaknya ke Singapore, ke tempat yang ia yakini dapat memberikan pengobatan yang terbaik. Sudah banyak hartanya yang ia jual untuk membiayai pengobatan anaknya. Suatu pengorbanan besar yang ia lakukan demi kesembuhan putri semata wayangnya.
Pada kesempatan yang ini, saya ingin memberi kesaksian tentang perjuangan luar biasa seorang ibu yang anaknya juga terkena leukemia. Kisahnya berawal dari sang anak yang sering mengalami demam, pucat, dan timbul biru-biru di kulit. Sebut saja nama anaknya Jedi (bukan nama yang sebenarnya). Kebetulan Jedi tidak tinggal serumah dengan ibunya. Sang ibu menitipkan Jedi kepada orangtuanya, sementara ia bekerja di luar kota.
Nenek Jedi sudah membawa cucunya ini ke dokter, namun tidak menunjukkan perbaikan setelah beberapa hari diobati. Kebetulan kakak ibu bekerja sebagai seorang perawat di salah satu rumah sakit swasta di pinggiran Jakarta. Ia menganjurkan agar keponakannya ini diperiksa lebih lanjut di rumah sakit tempat dia bekerja. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan, dicurigai Jedi terkena kanker darah. Ia diusulkan menemui seorang pakar kanker anak di Jakarta.
Singkat cerita, ibu membawa Jedi ke dokter yang dimaksud ke ibu kota. Dilakukan serangkaian pemeriksaan, termasuk aspirasi sumsum tulang. Hasilnya ternyata sesuai dengan dugaan dokter yang merujuknya, Jedi terkena leukemia limfositik akut. Dokter menyarankan untuk segera rawat agar dapat dilakukan kemoterapi.
Kamar di ruang rawat anak ternyata penuh. Baru ada yang kosong lebih kurang seminggu lagi. Keluarga merasa kalau sampai harus menunggu seminggu lagi, takutnya penyakit Jedi mungkin sudah bertambah parah. Sementara mereka berpikir mencari jalan keluarnya, adik sang ibu tiba-tiba datang dan memberi saran bagaimana kalau keponakannya ini dibawa ke rumah sakit lain, rumah sakit di mana saya bertugas. Tanpa berpikir panjang, mereka segera melarikan Jedi untuk bertemu saya.
Saya yakin satu keluarga pasti merasa panik. Apalagi setelah diketahui Jedi terkena kanker darah. Tidak tahu apa yang kira-kira berkecamuk di hati seluruh anggota keluarga, termasuk sang ibu. Apa lagi saat itu sang ibu merawat Jedi serorang diri karena ia sudah pisah dengan ayahnya Jedi. Bersyukur ada keluarga sang ibu yang selalu memberi dukungan kepada Jedi dan ibunya. Apa jadinya kalau tidak ada mereka?
Pertemuan pertama saya dengan Jedi dan ibunya terjadi di poliklinik. Terlihat wajah pucat sang anak dan wajah tegang sang ibu. Saya meminta kepada ibu agar Jedi segera dirawat untuk menjalani kemoterapi. Ibu langsung menyetujui anjuran yang saya berikan. Setelah semua urusan administrasi diselesaikan, Jedi masuk kamar. Bersyukur ada kamar kosong saat itu sehingga Jedi dapat segera diobati.
Saya sempat menanyakan kepada ibu apakah tidak ada orang lain selain sang ibu yang dapat membantunya selama perawatan. Ternyata nenek dan adik ibu sedang menunggu di mobil. Mereka tidak bisa masuk karena peraturan rumah sakit di era pandemi yang hanya memperbolehkan satu pasien ditemani oleh satu orang anggota keluarga.
Harus diakui bahwa peraturan ini memang tidak mengenakkan, khsusunya bagi orangtua yang anaknya masih kecil dan terkena kanker. Bersyukur Jedi sudah menginjak usia remaja sehingga tidak begitu sulit bagi sang ibu untuk mendampinginya seorang diri selama perawatan berlangsung.
Kemoterapi dilakukan dari minggu ke minggu. Setiap kali ronde di pagi hari, saya dapat melihat wajah lelah sang ibu. Apa lagi kalau selesai kemoterapi. Sang ibu bercerita kalau ia harus sabar untuk memberi makan kepada anaknya akibat mual yang dirasakan sebagai efek samping kemoterapi. Jika Jedi ingin makanan dari luar, sang ibu selalu berusaha untuk memenuhinya dengan memesan melalui jasa layanan antar. “Mumpung mau makan,” ujar sang ibu.
Terlihat juga di atas meja ada mesin pembuat jus. Ternyata sang ibu selalu menyediakan jus buah untuk diminum Jedi setiap pagi. Kalau ibu kelelahan, ia bergantian jaga dengan sang adik yang selama perawatan tinggal di kos. “Pandemi menyebabkan saya dan Jedi tidak bisa pulang pergi secara bebas karena takut penyekatan dan akhirnya nanti tidak bisa kembali rumah sakit sesuai jadwal kemoterapi,” kata sang ibu lagi. Itu alasannya mengapa ia sewa kamar kos di belakang rumah sakit.
Selain lelah, saya juga dapat melihat wajah cemas sang ibu ketika anaknya harus menjalani pengobatan intratekal. Suatu metode pengobatan kemoterapi yang diberikan kepada anak melalui celah di antara dua tulang belakang. Sebuah tampilan yang sering terlihat tidak saja pada ibu Jedi, tetapi juga pada ibu-ibu yang lain, ketika anaknya harus menjalani prosedur tindakan yang sama.
Sekalipun lelah dan hatinya hancur melihat anaknya harus menjalani kemoterapi, ibu-ibu yang anaknya terkena kanker tidak pernah menunjukkannya di hadapan anak-anak mereka. Ibu-ibu ini selalu berusaha untuk tersenyum dan terlihat gembira walaupun sebenarnya mereka ingin berteriak dan menangis.
Suatu hari, telepon genggam saya berbunyi. Terdengar suara seorang perawat yang mengabarkan kalau Jedi diduga terkena COVID-19 sehingga harus dipindah ke ruangan isolasi khsusus COVID-19. Saya tidak bisa menolak karena memang begitu protokol yang berlaku di era pandemi ini.
Keesokan paginya, saya tidak bisa menemui Jedi secara langsung di ruang isolasi. Pemeriksaan dilakukan melalui video call dengan menanyakan kondisi Jedi kepada ibunya yang selalu duduk di sampingnya. Sang ibu bercerita di dalam ruangan isolasi ia tidak bisa secara bebas keluar masuk. Ingin rasanya ia menangis melihat penderitaan anaknya. Sudah terkena kanker, tertular COVID-19 pula. Suatu kenyataan pahit yang memang harus dijalani.
Tidak sampai seminggu Jedi di ruang isolasi, akhirnya ia dipanggil pulang oleh Yang Maha Kuasa. Sang ibu sempat bercerita, menjelang berpulangnya Jedi, perawat melarang ia untuk memeluknya. Mereka takut kalau ibunya nanti tertular COVID-19 dari Jedi. Sementara, saat itu, Jedi meminta sang ibu untuk selalu berada dekat di sampingnya.
Saya sempat berpikir, “Ini kan anak saya sendiri. Kenapa saya tidak bisa peluk dan kapan lagi saya bisa memeluknya kalau tidak sekarang?”
Tanpa berpikir panjang, ia langsung saja memeluk Jedi. Sang ibu berkata kepada saya, “Saya rela kok seandainya saya sampai harus tertular COVID-19.” Suatu pengorbanan besar oleh ibu untuk terakhir kalinya menyenangkan hati sang anak, sekalipun nyawa taruhannya.
Ini hanyalah satu dari sekian banyak ibu-ibu yang anaknya terkena kanker. Sebagai seorang dokter kanker anak yang juga seorang lelaki, harus saya akui bahwa ibu-ibu yang anaknya terkena kanker adalah ibu-ibu yang tangguh. Lebih tangguh bahkan dari lelaki yang adalah ayahnya anak-anak ini. Tidak banyak saya jumpai di ruang rawat inap ayah yang menemani anaknya yang terkena kanker. Kebanyakan ibu-ibu.
Hari ini, perkenankan saya mengucapkan selamat Hari Ibu kepada ibu-ibu yang anaknya terkena kanker. Perjuanganmu sebagai seorang ibu tidak pernah sia-sia. Sekalipun mereka kadang harus mendahului kita semua, paling tidak sebelum kepergiannya menghadap Sang Khalik, anak-anak ini masih bisa merasakan belaian tangan kasih ibunya yang selalu mendampingi dan mencintai mereka dengan tulus dan tidak terbatas. (*)
Editor : Syahrir Rasyid