JAKARTA, iNews.Serpong.id - Ada beberapa risiko yang harus dipertimbangkan ketika memanfaat ChatGPT. Misalnya seputar regulasi, isu plagiarisme, dan etika dalam pemanfaatan, khususnya dalam lingkup akademik.
Dosen pada Kelompok Keahlian Informatika, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, Ayu Purwarianti mengatakan, sebenarnya ChatGPT bermanfaat buat membantu belajar, tapi memang harus berhati-hati tujuan menggunakannya. “Kalau misalnya mahasiswa disuruh bikin essay dengan tujuan supaya bisa memiliki kemampuan analisis yang lebih tinggi, serta lebih kritis dan kreatif, maka jangan menggunakan ChatGPT. Silakan membuat essay dengan kalimat sendiri dan nanti dibandingkan dengan hasil ChatGPT,” ucap Ayu dikutip dari laman ITB, Sabtu (20/5/2023).
Ayu mengingatkan agar siapa pun, termasuk mahasiswa, lebih bijak dalam menggunakan ChatGPT karena risiko yang mengintai. Risiko pertama, tidak akuratnya informasi dan jawaban yang diberikan, sehingga pengguna harus melakukan validasi atau mencari sumber lain yang lebih terpercaya dalam mencari suatu informasi.
Risiko lainnya terkait plagiarisme. Kita tidak tahu sumber data dan jawaban yang diberikan oleh ChatGPT. Dalam beberapa kasus yang terkait dengan hak cipta, seperti pembuatan buku dan copywriting, jangan memberikan ChatGPT untuk melakukan take over karena tetap tanggung jawab terakhir ada pada manusia.
Risiko selanjutnya juga dapat menimbulkan potential misuse, karena ChatGPT dapat kita tanya untuk membuat kode program, seperti jailbreak atau sesuatu yang memang untuk menelusuri security. Tetapi dengan semua risiko yang ada, sangat sulit juga untuk menahan pengembangan ChatGPT. Sebab, saat ini malah banyak orang yang berlomba-lomba dalam mengembangkan sesuatu seperti ChatGPT dengan harga yang lebih rendah.
Bahkan, kata dia, European Union (EU) menganggap ChatGPT sebagai sesuatu yang berisiko tinggi. Di Indonesia sendiri belum ada aturan spesifik terkait penggunaan ChatGPT.
UNESCO sudah memberikan rekomendasi terkait risiko penggunaan AI, Namun, kesiapan setiap negara berbeda-beda untuk dapat mengikutinya. “Setiap institusi memiliki caranya sendiri dalam menyikapi ini,” tutur dia. (*)
Editor : Burhan