Keterlibatan perempuan di lembaga legislatif sepanjang perjalanan politik bangsa ini boleh jadi tidak lebih dari sekadar pelengkap. Anggota parlemen perempuan selalu jauh di bawah jumlah anggota parlemen laki-laki. Padahal, populasi pemilih perempuan di hampir sepanjang pemilihan umum selalu lebih besar dari pemilih laki-laki.
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2004, misalnya, pemilih perempuan mencapai 53 persen. Ini berarti, partisipasi perempuan sebagai pemilih berbanding terbalik dengan partisipasi politik perempuan. Sepuluh tahun berselang, Pemilu 2014, persentase pemilih perempuan lebih kecil dari pemilih laki-laki, tapi selisihnya tidak terlalu signifikan.
Toh, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih tidak signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, keterwakilan perempuan di lembaga legisatif dalam tiga Pemilu terakhir mengalami pasang surut. Di DPR, hasil Pemilu 2009 ada 17,86 persen, turun menjadi 17,32 persen pada tahun 2014. Pemilu 2019 naik menjadi 20,87 persen. Persentase ini belum memenuhi ambang batas 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
Kondisi serupa terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), meski persentasenya lebih besar. Data yang sama menunjukkan, hasil Pemilu 2009 ada 26,52 persen, tahun 2014 turun menjadi 25,76 persen. Pemilu 2019 naik menjadi 30,88 persen.
Dengan komposisi seperti itu, jangan kaget bila keputusan-keputusan yang lahir dari DPR tidak terlalu berpihak kepada kepentingan perempuan. Bukan berarti laki-laki tidak memperhatikan kepentingan perempuan, tetapi produk yang dihasilkan kemungkinan besar akan berbeda jika ada keterwakilan perempuan.
Selama ini keterlibatan perempuan di panggung politik dirasakan masih belum memadai. Banyak faktor yang bisa menjadi pangkal masalahnya. Ada kesan, perempuan merasa tidak nyaman memasuki dunia politik karena panggung itu dianggap sebagai dunia laki-laki. Kesan itu tidak lepas dari masih kentalnya budaya patriarki dalam masyarakat yang menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
Mungkin saja budaya patriarki ada benarnya dalam hal-hal tertentu sebagai konsekwensi logis dari kodrat manusia. Akan tetapi, tentu saja tidak dalam semua hal. Ada hal tertentu yang tidak bisa dilakukan secara bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan.
Undang-Undang Dasar jelas-jelas mengamanatkan, DPR berfungsi melakukan legislasi, pembiayaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan. Artinya, selain melakukan pengawasan dan menyusun anggaran bersama pemerintah, DPR juga berfungsi membuat undang-undang yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara. Di sini peran perempuan tidak bisa diabaikan dalam merumuskan undang-undang.
Minimnya partisipasi politik perempuan, disadari atau tidak, sedikit banyak akan berimplikasi pada kebijakan politik. Tanpa keterlibatan perempuan, kebijakan yang dilahirkan sangat mungkin pada akhirnya kurang mengakomodasi kepentingan perempuan. Bukan karena laki-laki tidak respek, tapi boleh jadi hanya lantaran ketidaktahuan laki-laki terhadap persoalan khas perempuan.
Berapa banyak laki-laki yang memahami betul kondisi kesehatan dan kejiwaan perempuan saat haid atau waktu bersalin, misalnya? Seberapa jauh kepedulian laki-laki menghadapi persoalan tak senonoh terhadap perempuan? Bagaimanapun, perempuanlah yang lebih mengetahui kebutuhan perempuan.
Selama ini, perempuan hanya bisa mengeluh, bahkan berteriak, bila kebijakan-kebijakan yang dihasilkan di parlemen kurang memperhatikan kepentingan mereka. Kondisi ini sama sekali tidak menguntungkan, baik masa kini maupun mendatang.
Ini tentu saja tidak bisa dibiarkan. Pembiaraan sama artinya dengan membuat perempuan semakin tak berdaya. Oleh karena itu, perubahan struktur sosial dan budaya yang cenderung melanggengkan ketidakadilan struktural terhadap perempuan perlu terus didorong.
Perubahan itu hanya bisa terjadi bila keterwakilan perempuan cukup signifikan di parlemen. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan tentu akan lain apabila keterwakilan perempuan cukup memadai. Kebijakan itu menjadi lebih sempurna lagi bila didukung oleh latar belakang pendidikan dan profesi perempuan yang ada di parlemen seperti akademisi, dokter, pengacara, wartawati, atau profesi lainnya.
Dalam prespektif inilah pentingnya perempuan ikut mengambil bagian dan berperan dalam dunia politik, baik di tingkat daerah maupun pusat. Keterlibatan itu sama sekali jauh dari sekadar persoalan kesetaraan gender yang hanya cenderung mengesankan perempuan sebagai makhluk lemah yang perlu dikasihani. Tidak sebatas itu.
Kenyataan yang ada selama ini memperlihatkan masih banyak undang-undang dan aturan yang bias gender. Fakta juga menunjukkan, undang-undang dan peraturan itu lahir dari rumusan yang didominasi laki-laki. Itu boleh jadi karena masih minimnya keterwakilan perempuan di parlemen.
Harus diakui, ada hal tertentu yang berhubungan dengan perempuan yang bisa diwakilkan kepada laki-laki, misalnya ide atau gagasan. Akan tetapi, ada hal lain diperlukan keterwakilan perempuan karena yang lebih mengetahui kebutuhan perempuan adalah perempuan sendiri. Sebutlah, misalnya, perdagangan perempuan atau perkosaan.
Dalam masalah seperti ini, perempuan lebih bisa merasakannya kondisi korban karena sesama perempuan. Oleh karena itu, kehadiran perempuan di parlemen dalam jumlah yang signifikan bisa memperkecil lahirnya kebijakan-kebijakan bias gender.
Kini sudah saatnya perempuan tidak sebatas memberikan suaranya dalam pemilihan umum, tapi sekaligus ikut dalam penyusunan dan merumuskan kebijakan. Di sinilah urgensinya keterwakilan perempuan di parlemen.
Bagaimanapun, ini perlu keberanian. Betapapun dibutuhkan keberanian untuk mengubah kesan yang ada selama ini bahwa politik adalah dunia untuk laki-laki. Perempuan yang mau melangkah ke panggung politik adalah perempuan yang berani dan mau berkorban, tidak hanya untuk kepentigan perempuan, tetapi juga untuk bangsa dan negara demi kehidupan yang lebih baik, kini dan mendatang.
* Caleg DPR RI Partai Gerindra Dapil 2 Provinsi Sulawesi Selatan
Editor : Burhan