JAKARTA, iNews.id - Mantan Direktur Utama Bakti Kominfo, Anang Achmad Latif, mengungkapkan bahwa Peraturan Direktur Utama (Perdirut) Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) terkait penentuan pemilik teknologi sebagai dasar untuk proyek penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G telah ditetapkan olehnya sendiri.
Pernyataan ini dia sampaikan ketika dia dihadirkan sebagai saksi oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus terdakwa mantan Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak; Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan; dan Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali.
Anang Achmad Latif menjawab pertanyaan dari tim kuasa hukum terkait keterlibatan pihak lain dalam pembuatan Perdirut tersebut.
Dia menjelaskan bahwa tidak ada keterlibatan Huawei atau Mukti Ali dalam penentuan atau pengaturan terkait dengan pemilik teknologi dalam Perdirut yang dia buat.
Tim penasihat hukum terus menggali dasar Anang Latif dalam membuat Perdirut terkait penentuan pemilik teknologi untuk proyek BTS 4G.
Anang Achmad Latif mengklaim bahwa dia yang menetapkan persyaratan tersebut berdasarkan pengalamannya yang telah berkecimpung selama 27 tahun dalam industri telekomunikasi.
Dia juga memastikan bahwa tidak ada keterlibatan pihak lain dalam keputusannya, bahkan konsultan pun mengikuti arahannya untuk mencantumkan persyaratan tersebut.
Selain itu, Anang Achmad Latif mengatakan tidak kerugian negara di proyek penyediaan menara BTS 4G seperti yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum (JPU). JPU dalam dakwaannya menyebut ada kerugian negara sebesar Rp8,032 triliun .
Dia merujuk pada laporan keuangan Kementerian Kominfo yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, di mana tower BTS yang sudah selesai dibangun telah dicatat sebagai aset.
Sementara itu, 3.088 tower yang belum selesai masuk dalam aset Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP) senilai Rp7,3 triliun. Dia menegaskan bahwa catatan laporan keuangan ini berdasarkan data hingga 31 Desember 2021.
Kemudian, ketiga konsorsium yang terlibat dalam proyek tersebut diketahui telah mengembalikan sejumlah dana senilai Rp1,7 triliun pada tanggal 31 Maret 2022.
Hal ini diikuti dengan pembuatan kontrak baru untuk melanjutkan pekerjaan yang belum selesai pada tanggal 1 April 2022.
Namun, hingga 31 Desember 2021, Bakti baru membayar Rp450 miliar dari kontrak senilai Rp1,7 triliun. Oleh karena itu, menurut Anang Achmad Latif, total aset yang dimiliki mencapai Rp10,8 triliun.
Dia menjelaskan bahwa aset tersebut terbagi antara yang sudah selesai dan yang masih dalam proses konstruksi, dengan total Rp7,8 triliun.
Nilai aset ini telah melalui proses audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terintegrasi dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) pada tahun 2021.
Akhirnya, Anang Achmad Latif menyatakan bahwa menurut pengetahuannya, tidak ada kerugian sebesar Rp8 triliun yang pernah tercatat dalam proyek tersebut.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta